Rencana untuk Keluargamu: Rencana Allah vs. Rencana Dunia, Bagian 1 – John MacArthur

Tidak seorang pun yang perlu membuktikan kepada kita bahwa kita mungkin sedang menyaksikan kematian dari bagian utama dari suatu peradaban, yaitu keluarga. Semua tanda-tandanya sangat jelas di sekitar kita.

Kita bisa saja mengeluarkan berbagai macam statistik untuk menunjukkan betapa parahnya situasi keluarga dalam budaya kita saat ini. Kita semua terus-menerus menyaksikan deretan pemberitaan di media tentang perceraian, pemberontakan seksual, aborsi, sterilisasi, kenakalan remaja, perselingkuhan, homoseksualitas, gerakan pembebasan perempuan, hak-hak anak, dan sebagainya.

Semua itu telah terus-menerus dipertontonkan kepada kita selama 10 atau 20 tahun terakhir. Kita sedang menyaksikan pembuatan tali pencekik keluarga hingga mati. Dan banyak orang, sejujurnya dengan gembira sedang memahat batu nisan untuk keluarga, dan sungguh-sungguh melakukannya dengan penuh sukacita.

Dalam sebuah buku berjudul The Death of the Family, seorang dokter dari Inggris mengusulkan agar keluarga dihapuskan sama sekali karena menurutnya, keluarga merupakan alat utama untuk membentuk suatu tindakan mendominasi terhadap seseorang seperti cara dalam dunia imperialisme Barat.

Kate Millett, seorang feminis terkenal, menulis sebuah buku berjudul Sexual Politics dan di dalamnya ia menyatakan bahwa keluarga harus disingkirkan karena menindas dan memperbudak perempuan.

Orang-orang yang memegang pandangan ini bersikap agresif, tegas, berani, dan mendominasi, dan mereka seperti telah menemukan ladang subur untuk menyebarkan pandangan mereka di universitas dan perguruan tinggi di masyarakat kita, dan akibatnya mereka telah secara signifikan menurunkan nilai moral generasi anak muda, yang pada masa depan diharapkan  akan menjadi pemimpin-pemimpin dan penggerak masyarakat kita.

  1. Grace Atkinson dari National Organization of Women berupaya menghapuskan seluruh bentuk hubungan seks, pernikahan, keibuan, dan bahkan cinta. Saya kira itu cukup fatal. Ia mengatakan bahwa pernikahan adalah perbudakan yang dilegalkan, dan hubungan keluarga adalah dasar dari semua bentuk penindasan manusia. Suatu pandangan yang sangat rusak dan menyedihkan, namun dalam banyak kasus, itu adalah pandangan yang mendominasi di antara para tokoh intelektual, profesor, dan guru di masyarakat kita.

Di sisi lain, ada pula yang memandang kematian keluarga ini sebagai sebuah bencana, sebagai penyakit yang sangat berbahaya. Jika keluarga tidak dapat berfungsi, siapa yang akan membesarkan, mensosialisasikan, dan memoralitaskan generasi berikutnya?

Dr. Armand Nicolai II dari Harvard Medical School melihat kecenderungan untuk menghancurkan keluarga sebagai tren yang sangat merusak. Ia menunjuk pada kenyataan bahwa banyak perempuan yang telah menikah dan memiliki anak kini bekerja di luar rumah. Ada kecenderungan bagi keluarga untuk terus berpindah tempat tinggal. Televisi mendominasi kehidupan di rumah. Kontrol sosial hampir tidak ada. Kekacauan moral semakin merajalela. Komunikasi antaranggota keluarga nyaris hilang. Perceraian menjadi hal yang umum atau biasa. Dan semua hal itu, menurut dia, mengancam kehidupan kita sendiri.

Izinkan saya mengutip pernyataannya. Ia berkata, “Tren-tren ini akan melumpuhkan keluarga, menghancurkan integritasnya, dan menyebabkan anggotanya mengalami konflik emosional yang begitu parah sehingga mereka akan menjadi beban yang tak tertahankan bagi masyarakat.”

Bagaimana dengan masa depan? Pertama, kualitas kehidupan keluarga akan terus memburuk, menghasilkan masyarakat dengan tingkat penyakit mental yang lebih tinggi dari sebelumnya. Sembilan puluh lima persen tempat tidur di rumah sakit mungkin akan dipenuhi oleh pasien gangguan jiwa. Penyakit ini akan ditandai dengan hilangnya kemampuan untuk mengendalikan diri.

Kita dapat menyaksikan kejadian pembunuhan terhadap orang-orang yang memiliki wewenang akan menjadi lebih sering. Kejahatan kekerasan akan meningkat, bahkan di dalam keluarga itu sendiri. Tingkat bunuh diri akan melonjak.

Ketika seksualitas semakin tidak terbatas dan terpisah dari keluarga dan komitmen emosional, dampaknya akan menimbulkan lebih banyak eksperimen aneh dan penyimpangan yang meluas. Sungguh gambaran yang sangat menakutkan, dan kita sedang menyaksikan hal itu dipertontonkan di depan mata kita.

Tidak ada keraguan bahwa keluarga sedang berada di bawah serangan besar. Orang-orang berusaha mendefinisikan ulang konsep keluarga menurut kehendak mereka sendiri. Tidak ada keraguan bahwa kita sedang menyaksikan generasi muda yang sedang bangkit namun sayangnya tanpa keterampilan bersosialisasi dan tanpa memiliki perasaan moral sama sekali. Akibatnya, ada kekacauan, ada pembunuhan dan ada kejahatan yang meluas. Bahkan ada kesenangan dalam membunuh orang lain hanya demi sensasi membunuh itu sendiri.

Para sosiolog, psikolog, analis, serta para pakar pernikahan dan keluarga yang mengatasnamakan ahli, semuanya berusaha keras mencari solusi. Dan mereka telah berusaha melakukan hal itu selama beberapa dekade terakhir tanpa menghasilkan dampak berarti dalam memperlambat penurunan moral ini.

Apa pun yang mereka lakukan tampaknya tidak mampu memperlambat proses hilangnya keutuhan hubungan manusia di pusat kehidupan, yaitu keluarga. Saudara bisa mengutak-atik berbagai bagian masyarakat, tetapi jika saudara menghancurkan keluarga, saudara menghancurkan seluruh masyarakat.

Ini adalah masa yang dalam satu sisi menarik untuk dijalani — tepat di tengah pergolakan ini. Tetapi jelas bahwa keluarga berada di urutan teratas dalam daftar spesies yang terancam punah. Bahkan jauh lebih berbahaya daripada punahnya spesies-spesies hewan yang sering mendapat perhatian publik.

Dan pada titik ini, kita perlu bertanya: dapatkah keluarga diselamatkan? Dan saya kira, demi beberapa orang, kita juga harus bertanya: haruskah keluarga diselamatkan? Apakah layak diperjuangkan? Dan jika iya, bagaimana caranya?

Saya ingin menambahkan bahwa Gereja tentu telah melakukan berbagai upaya. Sepuluh hingga dua puluh tahun terakhir menunjukkan adanya perhatian besar terhadap isu ini. Toko-toko buku Kristen dipenuhi dengan literatur tentang pernikahan dan keluarga. Khotbah-khotbah, rekaman, seminar, konferensi dan semuanya diadakan untuk menangani permasalahan keluarga. Namun, semua itu tampaknya belum memberi dampak yang berarti. Tuhan memiliki jawaban atas pertanyaan apakah keluarga harus diselamatkan dan dapatkah keluarga diselamatkan. Bahkan, Alkitab menyatakan dengan gamblang bahwa pernikahan adalah anugerah Tuhan dalam hidup, dan anak-anak adalah warisan yang diberkati dari Tuhan. Kita harus memahami betapa besarnya berkat, kebahagiaan, dan tujuan Allah yang terungkap melalui pernikahan dan pengasuhan anak. Keluarga, sebagaimana didefinisikan oleh Allah, tetap menjadi inti dan jiwa masyarakat manusia. Di sanalah tempat keintiman, tempat sukacita, tempat lahirnya kenangan yang membentuk dasar kehidupan, tempat kasih, tempat sosialisasi, tempat moralitas, tempat rasa aman, dan tempat di mana kepercayaan diri dibentuk.

Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang profesor dari The Master’s University yang meraih gelar doktor dari USC, dengan spesialisasi dalam bidang pendidikan anak. Ia mengatakan bahwa semua literatur saat ini menyimpulkan bahwa antara usia 6 hingga 12 tahun adalah masa ketika seluruh fondasi kehidupan anak diletakkan atau gagal diletakkan. Masa-masa itulah yang menentukan arah hidup anak tersebut. Melalui pola perilaku dalam rentang usia itu, kita bisa dengan cukup akurat memprediksi apakah seorang anak akan memiliki perilaku antisosial atau mampu bersosialisasi secara normal. Dan kita dapat melihat juga bahwa semua akar dari perilaku kriminal biasanya tertanam pada periode itu dalam kehidupan seorang anak.

Hal ini sangat masuk akal, bahkan secara teologis. Dalam budaya Yahudi, seorang anak dianggap siap menjadi “anak taurat” ketika mencapai usia 12 tahun—yaitu saat ia sudah dapat bertanggung jawab sendiri secara rohani di hadapan hukum Allah. Saya pernah membahas bahwa Allah merancang agar orang tua untuk memperkuat dan membentuk karakter anak-anak mereka antara usia 6 hingga 12, agar mereka siap menghadapi masa pubertas yang biasanya dimulai di usia tersebut. Jika dalam masa-masa penting itu mereka tidak memiliki fondasi moral, tidak mendapatkan pengakuan diri, disiplin diri, dan pengendalian diri yang seharusnya dibangun, maka ketika dorongan-dorongan nafsu datang, mereka akan tersesat tanpa arah.

Allah telah menetapkan pola ilahi mengenai bagaimana keluarga harus menjalani proses ini. Bagaimana pernikahan harus menjadi teladan yang dapat diikuti. Bagaimana pernikahan bisa menjadi pengalaman yang penuh kepuasan dan kebahagiaan. Dan ketika kita mencari teladan itu, kita tidak perlu melihat ke luar Firman Tuhan. Semuanya telah tersedia, sangat jelas, tidak rumit, dan tidak sulit untuk dipahami.

Dalam perjalanan pelayanan saya minggu ini, setelah meninggalkan Illinois, saya pergi ke Ohio untuk berkhotbah. Setelah saya selesai berkhotbah, seorang wanita muda datang menghampiri saya. Ia seorang yang manis, kira-kira berusia 35 tahun, dan ia membawa serta sekelompok anak kecil—ada yang digendong dan ada pula yang menggandeng tangannya. Ia ingin menyampaikan kepada saya bahwa sepuluh tahun yang lalu, ia sedang berjuang mencari arah dalam pernikahannya. Ia mengucapkan terima kasih atas beberapa khotbah yang pernah ia dengarkan dari saya mengenai topik ini, yang pada akhirnya menuntun ia dan suaminya untuk menentukan arah hidup pernikahan mereka berdasarkan Firman Tuhan. Selama sepuluh tahun berikutnya, Tuhan begitu memberkati mereka, sehingga dalam cuaca yang buruk pun ia bersedia menempuh perjalanan panjang hanya untuk menyampaikan rasa terima kasih atas sukacita yang ia alami, baik dalam pernikahannya maupun dalam keluarganya. Bukan karena saya, tapi karena kebenaran Firman Tuhanlah yang membawa perubahan. Dan sampai orang-orang sejajar dengan kebenaran itu, mereka akan terus terombang-ambing dalam arus kehancuran yang menghancurkan dan akan jauh lebih buruk di masa mendatang. Hanya Tuhan yang tahu seperti apa generasi berikutnya akan menjadi.

Suatu hal yang mengerikan untuk dibayangkan. Maka, untuk memahami pandangan Allah mengenai keluarga, kita akan sangat terbantu bila kita memulainya dari surat Efesus pasal 5. Surat Paulus kepada jemaat di Efesus memberikan suatu rangkuman yang menyeluruh tentang materi yang relevan mengenai hal ini dan menjadi titik awal yang sangat baik bagi kita. Sekitar tahun 60 Masehi, Rasul Paulus menulis surat ini kepada orang-orang kudus di Efesus. Kemungkinan besar naskah aslinya tidak secara khusus menyebut “Efesus”, karena bisa saja surat ini bersifat sirkular, dikirim ke berbagai gereja di Asia Kecil, dan Efesus adalah gereja pertama yang menerima salinannya.

Namun yang jelas, Paulus menulis surat ini kepada orang-orang Kristen di wilayah itu, dan salah satu hal yang sangat membebani hatinya adalah persoalan pernikahan. Ketika kita masuk ke pasal 5 mulai ayat 18, kita mulai melihat alur yang mengarah pada ayat 22 dan seterusnya, di mana persoalan keluarga dan pernikahan dibahas. Dalam rangkaian khotbah ini selama beberapa minggu ke depan, kita akan membicarakan banyak hal, menyentuh berbagai isu, dan terus merujuk pada wahyu ilahi dari Tuhan. Namun kita akan terus kembali ke Efesus pasal 5 sebagai titik tolak kita, karena ini adalah landasan yang sempurna bagi pembahasan kita.

Dan saudara harus mengingat, ini bukan pendapat manusia. Saya tidak berada di sini untuk memberikan opini pribadi saya—saya bahkan tidak terlalu menganggap penting pendapat saya sendiri. Yang saya inginkan hanyalah menunjukkan kepada saudara apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan dan hikmat praktis yang dapat kita terapkan darinya. Ini adalah firman terakhir dalam persoalan ini. Kita tidak memerlukan para pakar, psikolog, analis, atau konselor pernikahan dan keluarga. Kita bisa langsung menuju pada Firman Allah. Kita tidak sedang mencari trik atau jurus-jurus khusus; kita sedang mencari kebenaran yang dapat menyatu dalam kehidupan kita.

Dalam surat Efesus yang sangat kita kenal ini, ketika Paulus mulai membahas topik tersebut, ia memulainya, paling tidak bagi kita, di ayat 18 dengan suatu premis yang sangat penting, dan mari kita mulai dari sana.

Paulus berkata, “Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh.” Inilah kunci yang membuka seluruh bagian berikutnya. Dari prinsip yang agung ini mengalir pengajaran untuk istri dalam ayat 22, untuk suami dalam ayat 25, untuk anak-anak dalam pasal 6 ayat 1, dan untuk orang tua dalam ayat 2. Seluruh ajaran mengenai pernikahan dan keluarga mengalir dari prinsip yang terdapat dalam pasal 5 ayat 18 ini. Bahkan, ini adalah syarat utama dan mendasar untuk setiap pernikahan atau hubungan yang berhasil. Dan perbandingan dalam ayat ini sangat dramatis dan mencolok: jangan mabuk oleh anggur, tetapi penuh dengan Roh.

Jika saudara membaca ayat itu begitu saja, mungkin saudara akan bertanya, “Mengapa Paulus membandingkan mabuk anggur dengan penuh Roh Kudus? Apa maksudnya?” Ketika seseorang mabuk, ia kehilangan kendali atas dirinya dan berperilaku tidak terkendali. Apakah Paulus sedang mengatakan bahwa kita juga harus kehilangan kendali, bukan karena anggur, tetapi karena Roh Kudus? Apakah maksudnya adalah bahwa kita harus menyerahkan kendali hidup kita bukan kepada anggur, tetapi kepada Roh Kudus? Mengapa Paulus menggunakan anggur sebagai perbandingan?

Jawabannya dapat ditemukan dalam konteks sejarah. Izinkan saya memberikan sedikit latar belakang.

Efesus terletak di Asia Kecil dan didominasi oleh budaya Yunani Hellenistik—kata “Hellenistik” berasal dari kata Yunani hellēn yang berarti bangsa-bangsa bukan Yahudi. Bangsa Yunani percaya bahwa dewa besar mereka, Zeus—salah satu dewa utama dalam panteon (kuil) mereka—memiliki seorang anak yang lahir dengan cara yang sangat tidak biasa. Menurut mitologi mereka, anak itu diambil dari rahim ibunya, yang bernama Semele, saat Semele sedang terbakar hangus karena mendekati kemuliaan Zeus yang menyala-nyala. Zeus entah bagaimana telah membuahi Semele tanpa menghancurkannya, tetapi ketika ia mencoba mendekat, ia terbakar.

Untuk menyelamatkan sang anak, anak tersebut diambil dari rahimnya dan dijahit ke paha Zeus sampai waktunya untuk dilahirkan. Bayi itu belum cukup bulan, tetapi dijaga di dalam tubuh Zeus hingga waktunya tiba. Maka lahirlah anak ilahi dari paha Zeus. Namun kemudian, anak ini diculik oleh para Titan—dalam mitologi Yunani, Titan adalah putra-putra bumi. Para Titan merobek tubuh anak Zeus itu, memasaknya, dan memakannya. Tetapi Zeus menemukan jantung anak itu, menelannya, dan dari jantung itu terbentuk kembali sosok anak itu, yang kemudian disebut Dionysius.

Nama Dionysius sering muncul dalam mitologi Yunani. Setelah Zeus menelan jantung itu, Dionysius lahir kembali. Zeus kemudian menghukum para Titan dengan petir dan membakar mereka habis, dan dari abu para Titan inilah, menurut kepercayaan mereka, manusia tercipta. Maka menurut mitologi tersebut, Dionysius bukan hanya manusia, tetapi dewa, sama seperti Zeus.

Dionysius kemudian dianggap sebagai dewa ekstase dan emosionalisme. Ia menciptakan suatu bentuk ibadah yang liar, penuh histeria, disebut sebagai kultus Dionysian—sebuah bentuk penyembahan yang merajalela dalam dunia Yunani dan Romawi. Dalam kultus ini, terjadi berbagai perbuatan keji, termasuk perusakan tubuh manusia, pesta seksual, musik dan tarian liar, dan pesta makan berlebihan. Namun, satu elemen yang selalu ada dalam semua ibadah Dionysian adalah mabuk.

Mabuk adalah unsur utama dalam ibadah pagan itu. Patung-patung Dionysius selalu diasosiasikan dengan anggur dan buah anggur. Dalam bahasa Latin, Dionysius dikenal dengan nama Bacchus, dewa anggur. Maka pesta mabuk yang liar itu disebut sebagai “pesta Bacchanalia.” Bahkan hingga hari ini, istilah itu masih ada; jika saudara membuka kamus dan mencari kata “Bacchanalia,” artinya adalah pesta mabuk-mabukan.

Kunci dari penyembahan pagan adalah mabuk. Itulah cara mereka menyingkirkan rasa bersalah. Itulah cara mereka menyingkirkan pengendalian diri, menumpulkan suara hati nurani, mengatasi kecemasan dan rasa takut, dan mencapai ekstase emosional yang bagi mereka merupakan bentuk persekutuan tertinggi dengan dewa-dewa mereka. Semakin mabuk seseorang, semakin besar kemungkinan mereka memasuki kondisi ekstase dan keterlibatan spiritual yang mendalam—atau lebih tepatnya, keterlibatan dalam aktivitas yang kerasukan dan jahat.

Jadi ketika Paulus berkata, “Janganlah kamu mabuk oleh anggur… tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh,” hal itu menjadi sangat bermakna dalam konteks dunia Yunani-Romawi yang mengenal penyembahan Bacchus atau Dionysius. Paulus sedang berkata kepada jemaat di Efesus—yang hidup di tengah budaya yang melihat mabuk sebagai pintu gerbang menuju ekstase spiritual—bahwa jalan menuju persekutuan sejati dengan Allah bukan melalui kehilangan kendali karena alkohol, tetapi melalui kepenuhan Roh Kudus.

Paulus tidak sedang berkata bahwa saudara harus kehilangan kendali diri. Sebaliknya, ia sedang berkata bahwa saudara harus menyerahkan kendali hidup saudara, bukan kepada anggur yang membawa kehancuran dan hawa nafsu, tetapi kepada Roh Kudus yang membawa kehidupan dan kebenaran. Kepenuhan Roh Kudus bukanlah pengalaman mistik yang membingungkan atau kerasukan yang menghilangkan kesadaran. Kepenuhan itu bukan kondisi pingsan, atau bicara dalam bahasa yang tidak dapat dimengerti, atau kehilangan kendali atas tubuh—seperti yang sering digambarkan dalam tayangan-tayangan spiritual palsu.

Paulus sedang mengajarkan bahwa kepenuhan Roh Kudus berarti hidup yang terus-menerus dikuasai oleh Roh melalui ketaatan pada Firman Allah. Itulah makna sejati dari kepenuhan itu. Dalam Kolose 3:16, Paulus berkata, “Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu.” Itu adalah paralel dari “penuh dengan Roh,” karena ketika Firman Kristus memenuhi hidup saudara dan saudara taat kepadanya, maka saudara hidup dalam kepenuhan Roh. Roh Kudus adalah Penulis Firman; maka ketaatan pada Firman adalah tanda bahwa saudara dipimpin oleh Roh.

Jadi, kepenuhan Roh bukanlah perasaan atau emosi yang kabur. Itu bukan pengalaman transenden yang mistis. Itu bukan pengalaman ekstase yang mendorong saudara kehilangan kendali. Sebaliknya, itu adalah kondisi di mana Roh Kudus, melalui Firman Allah, menguasai dan mengarahkan hidup saudara dalam ketaatan setiap hari. Dan dari situ, segala hal dalam kehidupan Kristen mengalir—baik itu dalam pernikahan, dalam keluarga, atau dalam relasi apa pun. Semuanya harus dimulai dari kehidupan yang dikuasai oleh Roh.

Inilah sebabnya mengapa dunia di luar sana tidak memiliki harapan. Masyarakat yang tidak dilahirkan kembali, yang tidak mengenal Allah, tidak memiliki kemungkinan untuk memahami atau mengalami relasi yang benar. Mereka tidak memiliki peluang lebih baik daripada orang-orang yang menghadiri pesta Bacchanalia. Tidak akan terjadi. Hubungan pernikahan yang benar dan hubungan keluarga yang benar hanya dapat dibangun di atas hidup yang ditebus, yang dipenuhi dan dikuatkan oleh Roh Kudus, serta taat kepada Firman Allah.

Dan inilah yang muncul dari kehidupan yang dipenuhi oleh Roh. Lihatlah ayat 19 dan 20: “Dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung pujian dan nyanyian rohani, bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.” Ketika Roh Kudus menguasai hidup seseorang—ketika hidup itu tunduk pada Firman dan taat padanya—hal pertama yang muncul adalah pujian. Hati yang penuh dengan sukacita pasti meluap dalam pujian.

Sederhana saja: jika saudara menemukan seseorang yang taat pada Firman Allah, saya bisa tunjukkan orang yang positif, gembira, penuh pujian, penuh ibadah, orang yang hatinya dipenuhi mazmur, kidung, dan nyanyian rohani. Seseorang yang menyanyi dan bersorak di dalam hatinya kepada Tuhan. Dan saya bisa katakan: orang seperti itu akan mudah hidup berdampingan dengan siapa pun.

Mengapa? Karena ia dipenuhi oleh kekaguman, kasih, dan pujian. Ia sedang menyembah Tuhan, dan hidupnya terpancar dengan sukacita. Ayat 20 menambahkan: “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.” Sulit untuk bertengkar dengan orang yang selalu bersyukur atas segala sesuatu.

Orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus adalah orang yang bersukacita. Orang yang bersyukur. Orang yang taat kepada Firman Allah. Hatinya penuh dengan nyanyian dan pujian, dan tidak ada dalam hidupnya selain ucapan syukur atas segala sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi. Orang seperti itu akan menjadi pribadi yang menyenangkan untuk hidup bersama. Inilah intinya. Kita tidak sedang membicarakan trik-trik agar pernikahan berhasil. Kita tidak sedang membahas nasihat-nasihat praktis dari buku populer yang menyarankan membeli boneka beruang, membungkusnya dengan kertas alumunium, lalu menyimpannya di freezer sebagai kejutan romantis—hal itu bukan solusi.

Saudara tidak akan bisa membangun atau memperbaiki hubungan melalui cara-cara seperti itu. Yang kita bicarakan adalah realitas rohani yang dalam. Satu-satunya cara untuk membentuk hubungan yang bermakna adalah melalui hidup yang dipenuhi oleh Roh Kudus, penuh pujian dan syukur kepada Allah, sehingga hati saudara melimpah dengan sukacita. Dan orang seperti itu—yang penuh kasih, sukacita, damai sejahtera, kelemahlembutan, kebaikan, kesetiaan, kelemahan hati, dan pengendalian diri—akan menjadi pribadi yang sangat sulit untuk diajak bertengkar.

 

Dari prinsip kepenuhan oleh Roh Kudus itu, mengalir satu elemen penting lainnya: ayat 21 mengatakan, “Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” Ayat ini tidak sedang membahas hubungan spesifik seperti istri kepada suami atau anak kepada orang tua. Ini adalah panggilan umum bagi setiap orang percaya. Ini adalah dasar bagi semua hubungan yang berarti—dan ini adalah persoalan rohani. Bukan persoalan kecerdikan, bukan soal menyusun jadwal kegiatan, bukan pula tentang saling memberi hadiah atau memasak makanan favorit. Hal-hal itu mungkin menyenangkan, tapi tidak akan menciptakan sukacita seumur hidup dalam sebuah hubungan. Yang menciptakan hubungan sejati adalah kerendahan hati dan sikap saling tunduk satu sama lain.

Kata “tunduk” di sini dalam bahasa aslinya adalah hupotassō, yang secara harfiah berarti “menempatkan diri di bawah.” Ini adalah istilah militer—menggambarkan seseorang yang secara sukarela menempatkan dirinya di bawah otoritas orang lain. Paulus sedang berbicara tentang semangat saling merendahkan diri, saling mendahulukan orang lain. Seseorang yang dikuasai oleh Roh Kudus, yang taat kepada Firman Allah, yang hatinya dipenuhi sukacita dan pujian serta ucapan syukur, akan dengan senang hati merendahkan dirinya demi orang lain. Inilah dasar dari relasi yang sehat.

Prinsip ini bukanlah ide baru yang muncul tiba-tiba di ayat ini. Sepanjang Perjanjian Baru kita melihatnya. Dalam 1 Korintus 16:16, kita diperintahkan untuk tunduk kepada semua orang. Dalam Ibrani 13:17, kita diperintahkan untuk tunduk kepada pemimpin rohani. Dalam 1 Petrus 2:13, kita diperintahkan untuk tunduk kepada hukum negara. Dalam 1 Petrus 5:5, kita diperintahkan untuk tunduk kepada yang lebih tua. Dalam Yakobus 4:7, kita diperintahkan untuk tunduk kepada Allah. Dan di sini, dalam Efesus 5:21, kita diperintahkan untuk tunduk kepada satu sama lain. Semua itu menunjukkan kerendahan hati, suatu karakter Kristen yang mendasar.

Jika saudara ingin melihat ilustrasi yang indah tentang hal ini, lihat Yohanes 13. Di sana, Yesus membasuh kaki para murid—satu tindakan kerendahan hati yang luar biasa. Ia adalah Allah yang berinkarnasi, namun Ia merendahkan diri dan mencuci kaki kotor sekelompok murid yang masih sibuk berdebat siapa yang terbesar di antara mereka. Yesus kemudian berkata, “Sebagaimana Aku telah mengasihi kamu, demikian juga kamu harus saling mengasihi.” Bagaimana Ia mengasihi mereka? Dengan merendahkan diri dan melayani, bahkan sampai mati.

Filipi 2 menyampaikan pesan serupa: “Janganlah kamu melakukan sesuatu dengan roh mementingkan diri sendiri atau kesombongan kosong, tetapi hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri.” Itulah semangat sejati yang diperlukan dalam relasi. Ayat selanjutnya berkata, “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” Inilah sikap Kristus, yang walaupun setara dengan Allah, tidak menganggap kesetaraan itu sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya, menjadi manusia, dan taat sampai mati di kayu salib.

Jadi, jika pernikahan dan keluarga ingin memenuhi maksud Allah, maka semua ini menjadi isu rohani. Itu bukan sekadar persoalan teknik atau metode, tetapi komitmen spiritual yang mendalam. Jika kita bersedia taat pada Firman Allah, maka Roh Kudus akan menguasai hidup kita. Jika hati kita dipenuhi sukacita yang meluap dalam pujian dan nyanyian tentang kasih karunia dan Injil, jika kita terus-menerus bersyukur atas segala hal dalam hidup kita, dan jika kita bersedia merendahkan diri terhadap satu sama lain dalam takut akan Kristus—yaitu karena kasih dan hormat kita kepada Kristus—maka kita akan memiliki hubungan yang bermakna dan mendalam.

Sebaliknya, tanpa pengabdian yang tidak egois kepada Allah dan tanpa kasih yang tidak mementingkan diri kepada sesama, hubungan itu tidak akan pernah terjadi. Dan jika saudara melihat masyarakat kita hari ini, saudara akan melihat bahwa inilah alasan utama mengapa hubungan-hubungan itu tidak berhasil. Pola pikir zaman ini adalah kebanggaan yang berpusat pada diri sendiri. Sikapnya adalah: “Aku akan tetap bersamamu selama kamu memenuhi keinginanku. Tapi jika tidak, aku akan pergi.” Dunia saat ini menekankan individualisme, hak pribadi, kebebasan, harga diri—semua hal yang terdengar mulia, tetapi dalam konteks hubungan, sangat mematikan.

Dalam upaya mengejar “hak-hak” yang dijanjikan oleh filsafat humanisme, kita kehilangan hak istimewa dari hubungan yang bermakna. Harga dari kebebasan yang kita agungkan itu pada akhirnya adalah kesepian dan keterasingan. Manusia menjadi objek—dipakai dan dibuang. Keluarga menjadi seperti sekelompok individu asing yang hidup dalam satu atap seperti rumah kos. Mereka lebih peduli pada pemenuhan diri sendiri daripada memberi kepada orang lain. Mereka lebih menginginkan barang-barang material daripada kehangatan hubungan. Mereka lebih ingin hidup mandiri daripada saling bergantung. Mereka lebih peduli pada diri sendiri daripada siapa pun di sekelilingnya. Bahkan, pasangan hidup pun dilihat sebagai beban, sebagai penghalang untuk mencapai kebebasan pribadi dan kepuasan diri. Anak-anak dianggap sebagai gangguan bagi kebebasan ego yang tak terbendung.

Alkitab berkata, jika saudara memilih untuk hidup seperti itu, lupakanlah mimpi tentang hubungan yang berarti. Tidak akan pernah terjadi.

 

Keluarga yang bermakna dan pernikahan yang bermakna—yang sangat penting bagi kelangsungan masyarakat, dan juga penting bagi pemenuhan hidup sejati—hanya mungkin terjadi ketika ada sikap yang tidak egois. Ketika keinginan pribadi dikorbankan demi kepentingan orang lain secara konsisten. Jika itu tidak terjadi, maka hubungan yang bermakna tidak akan mungkin terbentuk. Saudara tidak bisa menggabungkan dua orang yang sama-sama egois dan berharap muncul hubungan yang indah. Yang terjadi justru tabrakan kehendak yang tak terhindarkan. Yang diperlukan adalah dua orang yang sama-sama berjuang untuk merendahkan diri. Itu hal yang sangat esensial. Itulah kunci dari semua hubungan: hidup yang dipenuhi oleh Roh, yang saling berbicara dengan mazmur, kidung, dan nyanyian rohani, yang penuh ucapan syukur, dan yang saling tunduk satu sama lain. Hanya empat hal itu saja. Di situlah fondasi hubungan dibangun.

Di mana ada orang-orang yang berjalan dalam Roh, yang menjalani hidup dalam ketaatan pada kebenaran Firman Tuhan, yang memiliki lagu dalam hati dan pujian di bibir mereka, yang mengucap syukur atas segala sesuatu, dan yang dengan sukacita dan semangat bersedia merendahkan diri demi orang lain, di sanalah hubungan yang bermakna akan tumbuh. Itulah cara membangun relasi yang sehat dan bertahan. Kadang-kadang orang bertanya kepada saya, “Apa rahasia pernikahanmu? Bagaimana keluargamu bisa begitu erat?” Jawaban saya selalu kembali ke hal ini. Tidak ada formula ajaib, tidak ada trik, tidak ada metode canggih. Bukan soal seberapa sering kita melakukan ini atau itu. Bukan soal siapa yang memegang kendali atau metode mana yang dipakai. Semuanya bermuara pada satu pertanyaan mendasar: apakah saya berkomitmen untuk taat kepada Roh Kudus? Apakah saya berserah pada kuasa Firman Tuhan? Apakah saya sungguh-sungguh menjalani kehidupan Kristen?

Karena itu adalah pondasinya. Apakah saya dipenuhi dengan sukacita dan kebahagiaan? Ataukah saya pemarah, kasar, tidak ramah, dan tidak penuh kasih? Apakah hati saya cukup dipenuhi sukacita sehingga memancarkan kehangatan kepada orang-orang di sekitar saya dan menjadikan iman yang saya hidupi sebagai sesuatu yang menarik bagi mereka? Apakah saya bersyukur atas segala sesuatu dalam hidup saya—termasuk kesulitan, kesalahpahaman, dan perlakuan yang tidak adil dalam pernikahan dan keluarga saya? Apakah saya akan menerima semuanya itu dengan hati yang bersukacita? Apakah saya akan tunduk kepada pasangan saya dan terlibat dalam hidup mereka untuk menyenangkan hati mereka?

Inilah isu-isu yang harus kita hadapi terlebih dahulu. Dan jika kita tidak memulainya dari sini, maka yang lain hanyalah sia-sia. Jika saudara melihat masyarakat kita hari ini, saudara akan segera menyadari: tidak ada harapan. Tidak ada. Kita melihat orang-orang yang dikuasai oleh dosa, tidak peduli pada Firman Tuhan, dan hidup mengikuti nafsu mereka yang tak terkendali. Mereka mencari pemuasan keinginan pribadi dalam berbagai bentuk: perselingkuhan, penyimpangan seksual, dan semua hal yang menghancurkan keluarga.

Mereka tidak memiliki sukacita sejati—atau jika pun ada, itu hanya muncul sesekali ketika mereka minum-minum, mendapat promosi di tempat kerja, atau pergi liburan. Tapi umumnya, hati mereka tidak dipenuhi dengan sukacita yang meluap dan tak tertahankan. Kita tidak melihat masyarakat kita seperti itu. Kita hidup di tengah masyarakat yang tertekan dan penuh kekosongan. Mereka tidak tahu bersyukur. Tidak pernah merasa cukup. Dan mereka tidak bersedia tunduk atau berkorban untuk siapa pun. Mereka ingin menjalankan agenda hidup mereka sendiri. Tidak ada harapan.

Dan di atas semua itu, ditambahkan pula ideologi-ideologi palsu—benteng pemikiran manusia yang melawan Firman Tuhan, seperti yang digambarkan Paulus dalam 2 Korintus 10. Ideologi humanisme, kebebasan seksual, lesbianisme, homoseksualitas—semuanya menghancurkan struktur keluarga. Ide bahwa pernikahan tidak perlu, bahwa seks bebas itu normal, bahwa saudara bisa berganti pasangan sesuka hati. Gagasan bahwa seorang pria boleh menghamili perempuan di mana-mana lalu meninggalkan mereka begitu saja—dan masyarakat menerimanya dengan baik. Semua ideologi ini, ditambah dengan egoisme yang mendalam, tidak menghasilkan apa-apa selain kehancuran. Bencana total.

Sekarang kita akan membahas lebih lanjut konsep ketundukan ini. Mari kita lihat 1 Korintus pasal 11. Kita akan mendalami hal ini lebih jauh ketika kita nanti membahas peran suami. Mungkin ada yang bertanya, “Kalau semua orang tunduk satu sama lain, siapa yang sebenarnya memimpin?” Itu pertanyaan yang sah, dan mari kita tanggapi sejenak.

Allah telah menetapkan struktur otoritas dalam keluarga. Dalam 1 Korintus 11:3, Paulus berkata, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu: kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki, dan kepala dari Kristus ialah Allah.” Ini tidak berarti bahwa tidak ada pemimpin dalam keluarga. Justru sebaliknya. Ada otoritas di tingkat suami sebagai kepala rumah tangga, dan ada otoritas di tingkat orang tua atas anak-anak. Kita mengerti bahwa otoritas itu nyata. Kita tidak sedang meniadakan tanggung jawab kepemimpinan, atau tugas untuk melindungi, yang memang melekat dalam otoritas tersebut. Kita juga tidak sedang menyangkal tanggung jawab untuk mengajar dan membesarkan anak-anak dalam Tuhan. Yang sedang kita bicarakan di sini adalah semangat ketundukan yang timbal balik—bahwa meskipun saya sebagai suami adalah pemimpin, pelindung, dan penyedia bagi keluarga saya, namun keinginan, kebutuhan, kerinduan hati istri saya tetap lebih penting daripada kepentingan saya sendiri.

Itulah yang menciptakan keseimbangan yang diperlukan. Saya tidak melepaskan tanggung jawab saya sebagai suami—untuk memimpin, melindungi, dan menjaga istri saya. Saya tidak mengabaikan tanggung jawab saya sebagai ayah untuk menyediakan bagi anak-anak saya, melindungi mereka, memberi mereka arah, kepemimpinan, disiplin, dan membangun pengendalian diri dalam hidup mereka. Tapi saya melakukan semuanya itu dengan semangat yang didasarkan pada pengakuan bahwa hal itu adalah demi kepentingan mereka, bukan demi kepentingan saya. Dan jika ada kebutuhan lainnya, saya akan dengan senang hati mengorbankan diri untuk memenuhinya—jika hati saya benar di hadapan Tuhan. Ini berlaku bagi siapa pun yang hidup dalam kasih Kristus.

Dan gambaran yang sempurna dari prinsip ini bisa kita lihat dalam ayat yang tadi dibahas: Kristus adalah kepala dari setiap laki-laki, dan Allah adalah kepala dari Kristus. Apakah Allah lebih tinggi dari Kristus? Tidak. Apakah Allah memiliki esensi yang berbeda dengan Kristus? Tidak. Apakah Allah dan Kristus adalah satu? Ya. Tetapi dalam karya penebusan, Kristus rela tunduk kepada kehendak, rencana, dan otoritas Bapa. Ia setara dengan Bapa, namun Ia tunduk kepada-Nya. Dan Bapa sangat peka terhadap hati Sang Anak.

Kristus rela tunduk demi kebutuhan manusia. Ia tunduk kepada rencana Bapa. Ia datang dan melakukan tindakan kasih yang paling tidak egois dalam sejarah—mati di kayu salib untuk menyenangkan hati Bapa dan menyelamatkan manusia. Ia adalah Tuhan atas umat manusia, namun juga hamba bagi umat manusia. Ia adalah Raja yang menjadi pelayan. Ia adalah Yang Maha Kaya yang menjadi miskin. Ia yang tidak berdosa memikul dosa. Ia adalah Sang Pencipta kehidupan yang rela mati. Ia adalah Allah yang rela mati demi manusia. Itulah sikap hati yang menjadi teladan kita. Tidak ada keraguan bahwa Ia adalah kepala manusia, namun Ia tetap melayani manusia.

Gambaran dalam ayat ini begitu luar biasa. Kristus setara dengan Allah, tetapi tunduk kepada-Nya. Ia di atas manusia, tetapi merendahkan diri untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ia rela turun hingga titik terdalam dari kebutuhan manusia. Di dalam kedua hal itu kita melihat teladan ketundukan Kristus kepada kehendak Bapa dan kebutuhan manusia. Bahkan ketika Ia dalam penderitaan yang amat sangat, berpeluh darah, Ia berkata, “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.”

Ingatlah bahwa Kitab Suci berkata, “Hendaklah kamu saling mengasihi dengan kasih persaudaraan dan saling mendahului dalam memberi hormat.” Itulah semangat yang harus dimiliki. Sebelum kita membicarakan peran istri, suami, orang tua, atau anak-anak, kita harus membahas peran semua orang percaya. Dalam Kristus, ada kesetaraan rohani, ada otoritas rohani, dan tetap ada semangat ketundukan yang saling menghormati.

 

Dalam surat Galatia pasal 3 ayat 26, kita melihat prinsip kesetaraan rohani ini dengan sangat jelas: “Karena kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman dalam Kristus Yesus.” Ayat berikutnya menyatakan bahwa semua orang yang telah dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus. Dan kemudian ayat yang sangat penting itu: “Di dalam Kristus tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada budak atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”

Ketika kita berbicara tentang status rohani, kita semua setara di hadapan Allah. Istri saya adalah seorang percaya. Anak-anak saya adalah orang-orang percaya. Kami semua satu di dalam Kristus. Tidak ada satu pun dari kami yang secara rohani lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Namun demikian, di dalam keluarga tetap ada otoritas yang diberikan kepada suami sebagai kepala, dan kepada orang tua sebagai pemimpin atas anak-anak. Kesetaraan rohani itu tidak membatalkan struktur otoritas. Itu hanya menunjukkan bahwa peran yang berbeda tidak berarti status yang berbeda di hadapan Allah. Itu hanyalah tugas, tanggung jawab, dan penugasan demi kesejahteraan struktur keluarga yang telah ditetapkan oleh Allah.

Hal yang sama berlaku juga dalam gereja. Kita semua satu di dalam Kristus. Baik pria maupun wanita, hamba maupun tuan, Yahudi maupun Yunani—semuanya setara secara rohani. Namun dalam 1 Timotius 5:17 dikatakan bahwa para penatua yang memerintah dengan baik layak menerima hormat ganda. Dalam 1 Tesalonika 5:12-13, kita diminta untuk mengenali dan menghargai mereka yang bekerja di antara kita dan yang memimpin kita dalam Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul 20:28, para penatua diperintahkan untuk memelihara kawanan domba. Dalam 1 Petrus 5, mereka disebut gembala atas jemaat. Dalam Ibrani 13, dikatakan bahwa para pemimpin gereja adalah orang-orang yang harus memberikan pertanggungjawaban di hadapan Allah atas kehidupan rohani jemaat.

Jadi, walaupun secara rohani kita setara, tetap ada tanggung jawab dan peran yang berbeda. Namun bahkan dalam peran-peran tersebut, kita semua dipanggil untuk hidup dengan semangat ketundukan yang saling mengasihi. Saya bisa memberikan gambaran yang sangat nyata dari prinsip ini. Malam ini, saya berdiri di hadapan saudara dalam posisi otoritas, sebagai pengkhotbah yang mengajarkan Firman Tuhan. Saudara duduk dalam posisi mendengarkan, tunduk terhadap pengajaran. Seseorang dari luar bisa saja menyimpulkan bahwa saya adalah semacam penguasa dan saudara semua hanya penerima pasif, bahwa ada jurang rohani antara kita. Tapi itu tidak benar. Kita adalah setara secara rohani. Tugas saya hanya kebetulan adalah mengajar, dan saya harus melakukannya dengan lebih banyak kepedulian terhadap saudara daripada terhadap diri saya sendiri.

Motivasi saya bukan untuk menyenangkan diri saya. Saya tidak berdiri di sini demi saya sendiri. Saya sudah tahu isi khotbah ini. Saya berdiri di sini karena saya peduli pada saudara. Dan begitulah seharusnya relasi dalam keluarga. Kita semua saling tunduk, meskipun kita menjalani peran yang berbeda.

 

Satu bagian Alkitab yang sangat menarik dalam topik ketundukan timbal balik dalam pernikahan dapat ditemukan dalam 1 Korintus pasal 7. Dalam pasal ini, Paulus menjawab pertanyaan dari jemaat di Korintus mengenai hal-hal praktis dalam pernikahan. Ayat pertama berbunyi: “Tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku, adalah baik bagi laki-laki kalau ia tidak kawin.” Dalam konteks ini, “tidak kawin” adalah pernyataan bahwa hidup selibat adalah sesuatu yang baik, bukan sesuatu yang buruk. Paulus tidak meremehkan pernikahan, tetapi ia ingin menekankan bahwa hidup tidak menikah bukanlah kekurangan secara rohani.

Dalam ayat 26, ia menambahkan bahwa mengingat keadaan darurat atau kesulitan pada masa itu, akan lebih baik jika seseorang tetap dalam keadaan seperti dirinya—artinya, jika ia belum menikah, sebaiknya tetap demikian. Ayat 29 menyatakan bahwa waktu sudah singkat, dan karena itu, bahkan yang memiliki istri harus hidup seolah-olah tidak memilikinya. Maksudnya, jangan terlalu terikat pada urusan duniawi, karena bentuk dunia ini sedang berlalu.

Lalu di ayat 32, Paulus berkata bahwa orang yang tidak menikah dapat lebih fokus kepada perkara-perkara Tuhan, bagaimana menyenangkan Tuhan. Tapi orang yang sudah menikah akan memikirkan hal-hal duniawi, bagaimana menyenangkan pasangannya. Maka jelas bahwa pernikahan membawa komplikasi. Saudara tidak bisa lagi hanya berfokus pada Tuhan. Saudara juga harus memikirkan kebutuhan pasangan. Ayat 34 menambahkan bahwa perempuan yang tidak menikah, atau yang masih perawan, memiliki perhatian yang terbagi—berfokus pada kekudusan tubuh dan roh, tetapi yang sudah menikah akan fokus pada bagaimana menyenangkan suaminya.

Jadi kesimpulannya: jika seseorang mampu menjalani hidup selibat dengan kekudusan dan kemurnian, itu sangat baik. Tetapi dalam ayat 2, Paulus mengakui realitas kelemahan manusia: “Tetapi karena bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.” Artinya, karena dorongan seksual yang kuat dan potensi godaan moral, lebih baik bagi seseorang untuk menikah daripada jatuh ke dalam dosa. Ini adalah aturan umum, yang juga kembali ke prinsip dalam Kejadian 1:28 tentang prokreasi, Kejadian 2:18 tentang pendampingan, dan Ibrani 13:4 tentang kesucian dalam hubungan seksual suami-istri.

Lalu, pada ayat 3 hingga 5, kita menemukan prinsip yang sangat penting mengenai ketundukan timbal balik dalam konteks pernikahan. Paulus berkata, “Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap suaminya.” Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah kewajiban fisik dalam hubungan suami-istri. Setelah menikah, tidak ada lagi penahanan hak tubuh terhadap pasangan. Justru pernikahan itu sendiri adalah komitmen untuk saling memberi diri secara utuh—secara emosional, rohani, dan fisik.

Ayat 4 menyatakan dengan jelas bahwa “istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya; demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya.” Inilah bentuk tertinggi dari ketundukan timbal balik. Bukan dominasi satu pihak atas pihak lain, melainkan penyerahan diri secara penuh satu terhadap yang lain, dengan kasih dan rasa hormat.

Paulus bahkan mengatakan, “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali seketika lamanya dengan persetujuan bersama, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa.” Artinya, jika ada masa khusus untuk menjauh secara fisik demi dedikasi rohani seperti doa, itu harus berdasarkan kesepakatan bersama dan hanya sementara. Setelah itu, pasangan harus kembali bersatu, agar Iblis tidak menggoda karena kekurangan pengendalian diri.

Pernikahan membawa kewajiban timbal balik. Dan bahasa yang digunakan Paulus menekankan bahwa ini adalah semacam “hutang kasih”—suami dan istri memiliki “utang” kasih satu terhadap yang lain, dan mereka harus membayarnya. Bahkan dalam hal yang paling dasar seperti keintiman fisik, ketundukan timbal balik itu nyata. Pernikahan adalah penyerahan permanen dari seluruh diri kepada pasangan. Inilah esensi relasi pernikahan yang sehat: “Aku milikmu, dan engkau milikku.” Bahkan jika ingin menahan diri dari keintiman, hal itu harus dilakukan dengan persetujuan bersama. Tidak adil bagi satu pihak berkata, “Jangan ganggu aku, aku sedang berdoa,” jika itu tidak dibicarakan dan disepakati bersama.

Namun, dalam semua ketundukan ini, tetap ada otoritas. Dalam 1 Timotius 2:11, Paulus berkata, “Seorang perempuan harus belajar dengan tenang dan penuh ketundukan.” Ia melarang perempuan mengajar atau memegang otoritas atas laki-laki dalam konteks jemaat, karena Adam diciptakan lebih dahulu dan Hawa yang pertama jatuh dalam dosa. Jadi otoritas tetap ada, tetapi semangatnya adalah pelayanan yang penuh kasih dan kerendahan hati.

 

Kita perlu memahami bahwa dalam struktur keluarga yang ditetapkan Allah, otoritas bukanlah bentuk penindasan atau dominasi. Otoritas suami terhadap istri, dan orang tua terhadap anak-anak, harus dilaksanakan dengan kelembutan, kasih, perhatian, dan perlindungan. Ini bukan tentang memerintah dengan keras, tetapi tentang membimbing dengan penuh pengorbanan dan kasih seperti yang diteladankan Kristus.

Ketika Alkitab memerintahkan suami untuk menjadi kepala istri, itu bukan dalam arti tirani. Suami dipanggil untuk menjadi pemimpin seperti Kristus—yang memimpin dengan mengasihi, mengorbankan diri, dan melayani. Dalam Efesus 5, perintah kepada suami adalah: “Kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.” Jadi, model kepemimpinan suami adalah kasih yang rela berkorban, bukan egoisme. Suami yang sejati bukanlah yang menuntut pelayanan dari istri, melainkan yang menyerahkan dirinya demi kebaikan istri dan keluarganya.

Otoritas suami itu haruslah lembut, penuh perhatian, melindungi, dan membangun. Bukan kasar, bukan menuntut, bukan memperalat. Seperti dalam membesarkan anak, Alkitab memerintahkan, “Dan kamu, bapa-bapa, jangan bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Seorang ayah yang sejati bukanlah yang memerintah dengan kekerasan, melainkan yang membesarkan anak-anaknya dengan kelembutan, mengajarkan pengendalian diri, mengarahkan hidup mereka kepada kebenaran, dan membangun karakter mereka di dalam Tuhan.

Jika saudara tidak memulai dengan dasar-dasar rohani ini, sangat sedikit harapan untuk membangun keluarga yang kuat. Bahkan bisa dikatakan, tidak ada harapan sama sekali. Mungkin saja ada orang yang bertahan dalam pernikahan hanya karena tekanan sosial atau alasan pragmatis, tetapi tanpa dasar rohani, kehidupan keluarga akan menjadi perjuangan berat yang penuh konflik dan kekecewaan.

Tanpa hidup yang dipenuhi Roh, tanpa pujian kepada Tuhan, tanpa ucapan syukur atas segala sesuatu, dan tanpa kerelaan untuk saling merendahkan diri, pernikahan dan keluarga akan menjadi arena pertarungan demi kepentingan pribadi. Setiap individu akan memperjuangkan hak-haknya sendiri, dan hubungan itu akan penuh dengan ketegangan dan pertengkaran.

Itulah sebabnya mengapa setiap tahun, jutaan pasangan yang memulai pernikahan dengan penuh harapan akhirnya berakhir dalam perpisahan. Setengah dari pernikahan-pernikahan itu runtuh. Mereka yang menikah lagi, dua pertiga dari mereka akan mengalami perceraian kembali. Bahkan kini, para pendeta pun mulai mengadakan “upacara perceraian” seolah-olah itu adalah sesuatu yang normal—seperti memutar ulang film ke arah sebaliknya. Perceraian telah menjadi begitu meningkat, atau di mana perceraian tidak terjadi, tetapi sering kali tetap ada konflik internal atau perselingkuhan yang tersembunyi.

Pria sering kali menjadi keras dan tidak peka. Wanita pun, di sisi lain, dapat menjadi tidak setia, tidak responsif, dan terobsesi dengan kebebasan pribadi. Anak-anak pun tumbuh tanpa teladan yang benar. Kekacauan ini sungguh tragis, benar-benar tragis.

Jadi, ketika kita berbicara tentang keluarga, kita harus mulai dari persoalan-persoalan rohani. Jika saudara memiliki hati yang dipenuhi oleh Roh Kudus, hidup dalam ketaatan pada Firman Tuhan, penuh dengan pujian dan ucapan syukur, serta bersedia merendahkan diri satu sama lain, saudara memiliki bahan-bahan dasar untuk membangun keluarga dan pernikahan yang penuh berkat dan kebahagiaan.

Tetapi, tanpa semua itu, hubungan keluarga tidak akan menjadi apa-apa selain pertempuran ego yang tidak ada habisnya.

D.L. Moody, seorang penginjil besar, pernah mengajukan sebuah pertanyaan sederhana kepada hadirin dalam suatu pertemuan. Ia mengangkat sebuah gelas kosong dan bertanya, “Bagaimana caranya mengeluarkan udara dari dalam gelas ini?” Ada yang berteriak, “Sedot saja dengan pompa.” Moody menjawab bahwa itu akan menciptakan vakum dan menghancurkan gelas itu. Lalu muncul beberapa jawaban lain yang tidak masuk akal, seperti membalikkan gelas. Akhirnya, Moody mengambil kendi berisi air dan menuangkan air itu ke dalam gelas hingga penuh. Lalu ia berkata, “Sekarang, udara sudah keluar.” Sederhana sekali.

Begitulah prinsipnya dalam kehidupan rohani. Saudara tidak bisa mengeluarkan semua kecenderungan berdosa, semua egoisme, semua kebiasaan duniawi hanya dengan usaha manusia. Saudara tidak bisa mengosongkan diri dari semua yang buruk hanya dengan kemauan sendiri. Cara satu-satunya adalah dengan memenuhi hidup saudara dengan sesuatu yang baru dan mulia—dengan Roh Kudus dan kebenaran ilahi. Jika hidup saudara dipenuhi dengan Roh Allah dan Firman-Nya, maka dosa dan keegoisan akan tersingkir dengan sendirinya.

Itulah kunci. Di sanalah semuanya bermula. Jika saudara ingin membangun keluarga yang kuat, pernikahan yang penuh berkat, dan hidup yang bermakna, saudara harus berkomitmen untuk dipenuhi oleh Roh Kudus. Itulah satu-satunya jalan. Bukan melalui strategi manusia, bukan melalui nasihat-nasihat psikologi duniawi, bukan dengan terapi atau trik-trik hubungan. Hanya dengan kepenuhan Roh dan ketaatan mutlak kepada Firman Tuhan.

Kalau saudara sungguh membuat komitmen ini, maka saudara akan mengalami anugerah kehidupan yang penuh kebahagiaan dalam pernikahan dan keluarga. Itulah rencana Allah untuk sukacita saudara, dan untuk kemuliaan-Nya.

Marilah kita berdoa.
Bapa di surga, kami mengucap syukur untuk fondasi-fondasi yang Engkau telah berikan kepada kami dalam Kitab Suci. Kami tahu bahwa semua ini berawal dari hati. Persoalan-persoalan rohani harus dibereskan terlebih dahulu. Saya berdoa, ya Tuhan, untuk setiap orang yang ada di tempat ini, agar Engkau membawa mereka kepada komitmen penuh untuk dipenuhi oleh Roh Kudus. Supaya hati mereka meluap dengan sukacita, penuh ucapan syukur, penuh kerendahan hati, dan dengan demikian menjadi pribadi yang begitu mudah untuk diajak hidup bersama.

Tuhan, kami rindu memiliki pernikahan yang bahagia, keluarga yang penuh berkat. Engkau telah menunjukkan caranya kepada kami. Dan ketika semua itu tidak terjadi, kami tahu bahwa bukan karena kebenaran-Mu yang gagal, melainkan karena kami telah menyimpang dari dasar-dasar rohani itu. Bantu kami untuk tidak terjebak pada masalah-masalah lahiriah, tetapi untuk kembali berlutut di hadapan-Mu dan memperbaiki hati kami. Engkau ingin kami menjadi orang-orang yang tidak egois, yang lebih mengutamakan orang lain daripada diri sendiri, yang penuh dengan ucapan syukur dalam segala keadaan, sekalipun dalam kesulitan dan penderitaan.

Kami tahu, Tuhan, bahwa di dalam keluarga, banyak konflik terjadi ketika kami tidak puas dengan jalan-Mu. Tetapi di mana ada pujian yang tidak pernah berhenti, syukur yang konstan, ketaatan, dan kerendahan hati, di sanalah akan ada sukacita dan kepuasan yang sejati. Kiranya itu terjadi dalam hidup kami semua. Itulah rencana-Mu untuk sukacita kami, dan untuk kemuliaan-Mu. Dalam nama Kristus kami berdoa. Amin.

Bagikan: