Roma 1:24
Kamis, 18 Januari 2024
John MacArthur
Berikut ini kutipan dari Tafsiran Perjanjian Baru MacArthur mengenai Surat Roma 1.
Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada kecemaran sesuai dengan keinginan hati mereka, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka. (Roma 1:24, PBTB2)
Karena itu merujuk kembali pada alasan yang baru saja dikemukakan Paulus dalam ayat 18–23. Meskipun Allah telah menyatakan diriNya kepada manusia (ay.19-20), tetapi manusia menolak Allah (ay.21) dan kemudian merasionalisasikan penolakannya tersebut (ay.22; lih.ay.18b); dan mereka menciptakan ilah pengganti buatannya sendiri (ay.23 ). Karena manusia meninggalkan Allah, maka Dia meninggalkan manusia—Allah menyerahkan mereka. Pengabaian ilahi dan konsekuensinya itulah yang dibahas Paulus dalam ayat 24-32, yaitu bagian yang paling menyedihkan dan menakutkan dalam keseluruhan isi suratnya.
Paradidomi ( menyerahkan ) adalah kata kerja yang kuat (intens). Dalam Perjanjian Baru, kata ini digunakan untuk merujuk pada [perbuatan ketika seseorang] menyerahkan tubuhnya untuk dibakar (1 Kor. 13:3), dan tiga kali merujuk pada peristiwa ketika Kristus menyerahkan diriNya sampai mati (Gal. 2:20; Ef. 5:2, 25). Kata ini digunakan dalam arti yudisial yang merujuk pada seseorang yang dimasukkan ke dalam penjara (Mar. 1:14; Kis. 8:3) atau ke dalam penghakiman (Mat. 5:25; 10:17, 19, 21; 18:34), dan pada para malaikat pemberontak yang dikirim ke lubang kegelapan (2 Ptr. 2:4). Kata ini juga digunakan pada penyerahan diri Kristus kepada pemeliharaan BapaNya (1 Ptr. 2:23) dan ketika [Allah] Bapa menyerahkan PutraNya sendiri ke dalam kematian untuk melakukan karya pendamaian (Rom. 4:25; 8:32).
Penyerahan Tuhan atas umat manusia yang berdosa mempunyai arti ganda. Pertama, secara tidak langsung, Allah menyerahkan mereka dengan hanya menarik tanganNya yang menahan dan melindungi [mereka] dengan membiarkan berbagai konsekuensi dosa bergerak menuju ke arah yang tak terhindarkan dan menghancurkan. Dosa merusak manusia, merusak gambar dan rupaNya Allah dalam diri manusia, dan merusak martabatnya, ketenangan pikirannya, dan hati nuraninya yang bersih. Dosa menghancurkan berbagai hubungan pribadi, pernikahan, keluarga, kota, dan bangsa. Dosa juga menghancurkan gereja. Thomas Watson berkata, “Dosa… memasukkan kerikil ke dalam roti kita [dan] racun ke dalam gelas kita” ( A Body of Divinity [Carlisle, Pa.: Banner of Truth, 1983 reprint], hal. 136).
Manusia yang sudah terjatuh dalam dosa tidak memikirkan dosa mereka, tetapi hanya memikirkan rasa sakit karena berbagai akibat yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh dosa tersebut. Ada yang mengatakan bahwa pelaku dosa akan lebih sedikit jika konsekuensinya langsung terjadi. Misalnya, banyak orang yang merasa sangat khawatir terhadap penyakit kelamin, namun tidak menyukai saran untuk menghindarinya dengan membatasi pergaulan bebas dan penyimpangan seksual. Alih-alih mengikuti standar kemurnian moral Tuhan, mereka malah berusaha menghilangkan akibat dari kenajisan mereka tersebut. Mereka beralih pada konseling, pengobatan, psikoanalisis, narkoba, alkohol, jalan-jalan, dan sejumlah cara yang lain untuk menghindari apa yang tidak bisa mereka lakukan, yaitu dengan tidak melakukan dosa tersebut.
Dikatakan bahwa seekor cerpelai lebih memilih mati daripada mengotori bulunya yang indah. Hewan itu akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi bulunya tersebut. Manusia tidak mempunyai kecenderungan seperti itu mengenai pencemaran dosa. Dia tidak dapat menjaga dirinya tetap murni, dan tidak memiliki keinginan yang alami untuk melakukannya.
Tidak semua murka Tuhan terjadi pada masa mendatang. Dalam kasus pergaulan bebas – mungkin lebih spesifik dan parah dibandingkan dengan hal moralitas lainnya – Tuhan sudah terus-menerus mencurahkan murka ilahiNya melalui penyakit kelamin. Terhadap manifestasi kefasikan lainnya yang tak terhitung banyaknya, Dia mencurahkan murkaNya dalam bentuk kesepian, frustrasi, ketidakberartian, kegelisahan, dan keputusasaan yang menjadi ciri khas dari masyarakat modern. Ketika umat manusia yang canggih dan mandiri semakin menjauh dari Tuhan, maka Tuhan memberikan konsekuensi dari pemberontakan spiritual dan moral terhadapNya kepada mereka.
Pengabaian ilahi terhadap manusia akan dosa yang dibicarakan Paulus pada bagian ini bukanlah mengenai pengabaian yang kekal. Selama manusia yang berdosa masih hidup, Tuhan memberikan kesempatan bagi keselamatan mereka. Itulah kabar baik yang luar biasa tentang anugerah Tuhan yang kemudian dibahas Paulus dalam suratnya tersebut. Seperti namanya di dalam Perjanjian Lama, Izebel yang menyesatkan jemaat di Tiatira adalah perwujudan dari penyembahan berhala dan kefasikan yang tidak bermoral. Namun, Tuhan dengan murah hati memberinya kesempatan untuk bertobat (lihat Why. 2:20–21). Terlepas dari murkaNya yang benar dan adil terhadap dosa, Tuhan tetap sabar terhadap orang-orang berdosa karena Ia “menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2 Pet. 3:9, PBTB2).
Dalam pengertian yang kedua, Allah menyerahkan umat manusia yang memberontak melalui berbagai tindakan penghakiman yang spesifik. Alkitab penuh dengan berbagai kisah tentang murka ilahi yang dicurahkan secara langsung dan [bersifat] supernatural/adikodrati kepada umat manusia yang berdosa. Air bah pada zamannya Nuh dan kehancuran Sodom dan Gomora, misalnya, bukanlah konsekuensi alamiah yang tidak langsung dari dosa, melainkan ekspresi supernatural yang nyata dari penghakiman Tuhan terhadap dosa yang berat dan (mereka yang] tidak kunjung bertobat.