Karunia Mukjizat dan Pertanyaan Tentang Ketidakberlanjutan

Thomas Schreiner (Profesor Interpretasi Perjanjian Baru di Southern Baptist Theological Seminary)

Berikut adalah terjemahan dari artikel “The Miraculous Gifts and the Question of Cessationism” di The Gospel Coalition.

DEFINISI

Karunia-karunia mukjizat Roh, termasuk kerasulan, nubuat, bahasa lidah, penyembuhan, dan mukjizat-mukjizat memiliki tujuan untuk mengesahkan pesan tentang Yesus pada masa-masa awal gereja, tetapi setelah fondasi kerasulan diletakkan dan kanon pewahyuan Kitab Suci telah lengkap, karunia-karunia mukjizat itu tidak lagi menjadi karakteristik dari operasi yang normal dan yang diharapkan dari tubuh gereja pada masa kini.

RINGKASAN

Karunia-karunia mukjizat Roh, termasuk kerasulan, nubuat, bahasa lidah, penyembuhan, dan mukjizat-mukjizat, memiliki tujuan untuk mengesahkan pesan tentang Yesus pada masa-masa awal gereja. Karunia-karunia ini terkait dengan kanon Kitab Suci karena semuanya adalah karunia pewahyuan dari Tuhan. Sementara kesembuhan dan mukjizat-mukjizat hanya berfungsi sebagai kesaksian akan otoritas pesan-pesan rasuli, isi dari karunia-karunia nubuat dan bahasa roh yang ditafsirkan memberikan pewahyuan dan tuntunan yang dibutuhkan oleh jemaat mula-mula. Fakta bahwa Perjanjian Baru tidak pernah memberi kita alasan untuk menganggap bahwa nubuat yang benar itu bisa salah, menempatkannya dengan tegas pada posisi otoritas yang sama dengan Kitab Suci. Sekarang, setelah fondasi kerasulan diletakkan dan diteruskan kepada gereja di dalam kanon Kitab Suci yang telah lengkap, karunia-karunia mujizat tidak lagi menjadi ciri operasi yang normal dan yang diharapkan dalam gereja, dan nubuat tidak lagi diperlukan untuk pewahyuan. Namun, hal ini tidak membuat mustahil bahwa Allah dalam kedaulatan-Nya memberikan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban tersebut dalam usaha misionaris masa kini sekarang atau untuk menyangkal bahwa Allah masih melakukan mukjizat.

Kaum Injili memperdebatkan apakah karunia-karunia mukjizat pada era para rasul masih terus berlanjut hingga saat ini (yang disebut sebagai keberlanjutan/continuationism) atau apakah karunia-karunia itu sudah berhenti (yang disebut sebagai ketidakberlanjutan/cessationism). Kaum Pentakosta dan aliran Karismatik mendukung keberlanjutan karunia-karunia tersebut, dan posisi itu telah mereka ajarkan terutama sejak awal 1900-an dengan datangnya Pentakostalisme dan yang telah semakin berkembang akibat gerakan karismatik gelombang kedua dan ketiga. Artikel ini akan menyajikan argumen bahwa karunia-karunia mukjizat itu telah berhenti, khususnya yang berfokus pada karunia-karunia kerasulan, nubuat, penyembuhan, mukjizat-mukjizat, dan pada tingkatan yang lebih rendah, bahasa lidah.

Sejarah Penebusan

Karunia-karunia mukjizat telah berhenti karena karunia-karunia tersebut memainkan satu peran khusus dalam sejarah penebusan, yaitu dalam mengesahkan pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus (Kis. 2:22; Ibr. 2:4). Para rasul dan orang-orang yang berhubungan dekat dengan mereka melakukan “tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban” dan mukjizat-mukjizat untuk meneguhkan Injil yang mereka beritakan (Kis. 2:43; 4:30; 5:12; 6:8; 14:3; 15:12; Rom. 15:19; 2 Kor. 12:12). Saya tidak sedang menyangkal bahwa Tuhan dalam kedaulatan-Nya mungkin saja memilih untuk memberikan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban semacam itu dalam pekerjaan-pekerjaan misionaris mutakhir masa kini (demikian juga argumen yang mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah lagi melakukan mukjizat-mukjizat pada masa kini), namun kejadian seperti itu tidaklah lazim. Sangatlah penting bagi generasi pertama gereja bahwa pelayanan Kristus dan sabda rasuli itu diverifikasi dan diteguhkan. Gereja “dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi” (Efe. 2:20). Fondasi gereja telah diletakkan sekali untuk selamanya, dan dengan demikian tidak ada lagi nabi dan rasul yang berfungsi sebagai pembawa pesan yang berotoritas. Seperti yang dikatakan dalam surat Yudas (ay. 3), “iman … telah disampaikan kepada orang-orang kudus satu kali untuk selama-lamanya.” Kita membaca dalam surat Ibrani bahwa “pada zaman akhir ini Tuhan telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Ibr. 1:2). Firman yang final dan definitif telah dinyatakan, dan dengan demikian tidak diperlukan lagi rasul-rasul, nabi-nabi, dan bahasa lidah, juga tidak diperlukan lagi tanda-tanda, keajaiban-keajaiban dan mukjizat-mukjizat untuk mengesahkan kabar suci tersebut.

Kanon Kitab Suci

Bisa kita katakan dengan cara lain; kanon Kitab Suci sekarang sudah tertutup. Sebagai orang percaya, kita memiliki firman Tuhan yang final dan definitif dalam dua puluh tujuh buku dari Alkitab Perjanjian Baru. Tidak ada buku-buku baru yang akan ditambahkan lagi ke dalam kanon, dan tidak ada pewahyuan baru yang akan diberikan sampai akhir sejarah. Yang kita tunggu-tunggu adalah peristiwa besar berikutnya dalam sejarah penebusan: kedatangan Yesus Kristus untuk menyempurnakan kerajaan. Karena kita memiliki semua yang perlu kita ketahui sebagai orang percaya tentang keselamatan dan pengudusan kita di dalam Kitab Suci, tidak lagi diperlukan rasul atau nabi untuk menyatakan kehendak Allah kepada kita.

Hal ini bukan berarti bahwa 1 Korintus 13:8-12 mengajarkan karunia-karunia itu akan berhenti bersamaan dengan ditutupnya kanon, hanya untuk menyatakan satu argumen dari sejarah penebusan. Ketika kita menelaah 1 Korintus 13:8-12, “yang sempurna” itu jelas adalah kedatangan Kristus yang kedua kali. Para penganut Keberlanjutan menunjuk pada ayat-ayat ini untuk berargumen bahwa karunia-karunia itu akan terus berlanjut sampai kedatangan Kristus yang kedua kali. Pembacaan semacam itu tentu mungkin saja. Namun, 1 Korintus 13:8-12 tidak menuntut agar karunia-karunia itu tetap berlanjut sampai pada peristiwa kedatangan yang kedua. Kita tidak perlu heran bahwa kita tidak memiliki pengajaran langsung yang menyatakan bahwa karunia-karunia itu tidak akan berlanjut. Instruksi tentang berhentinya karunia-karunia itu tidak diberlakukan atas jemaat Korintus atau atas Paulus karena mereka hidup di masa ketika semua karunia itu masih aktif. Tuhan berbicara kepada mereka dalam periode dan keadaan di mana mereka masih hidup. Demikian pula halnya, kita percaya pada kanon Kitab Suci, tetapi Perjanjian Baru tidak menyatakan secara eksplisit tentang kanon semacam itu karena pernyataan semacam itu tidak akan ada artinya bagi generasi pertama orang Kristen.

Argumen dari Kerasulan dan Nubuat

Di atas telah disebutkan bahwa gereja “dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi” (Efe. 2:20). Tidak ada yang namanya suksesi kerasulan di dalam Perjanjian Baru, dan dengan demikian karunia kerasulan pun telah berhenti. Ketika Yakobus sang rasul dieksekusi mati dalam Kisah Para Rasul 12:2, posisi kerasulannya tidak digantikan siapa pun. Paulus adalah rasul Yesus Kristus “yang paling akhir” (1 Kor. 15:8), dan tidak ada lagi rasul setelah Paulus. Adanya para rasul sangat diperlukan pada generasi pertama untuk bersaksi tentang Yesus Kristus karena gerakan Kristen masih baru. Sekarang setelah fondasi telah diletakkan, era para rasul telah berakhir. Kita memiliki iman yang telah diwariskan kepada kita sekali untuk selamanya, seperti yang disebutkan di atas (Yud. 3; Ibr. 1:2).

Sangatlah jelas bahwa gereja dibangun di atas para rasul dan nabi. Para nabi yang Paulus maksudkan dalam Efesus 2:20 ini jelas adalah para nabi Perjanjian Baru (lihat Efe. 3:5). Baik para rasul maupun para nabi telah meletakkan fondasi bagi gereja, dan sejak fondasi itu ditegakkan, tidak ada lagi nabi-nabi yang menyampaikan firman berotoritas dari Tuhan pada saat ini. Kita memandang kanon Kitab Suci sebagai otoritas final dan satu-satunya.

Tidak Ada Kesalahan dalam Nubuat Perjanjian Baru

Beberapa orang mempermasalahkan argumen tentang ketidakberlanjutannya nubuat, dengan menyatakan bahwa nubuat Perjanjian Baru masih tetap ada sampai sekarang (untuk diskusi lebih lanjut tentang natur nubuat, lihat artikel tentang “nubuat”). Mereka berargumen bahwa perkataan para nabi Perjanjian Baru mengandung kesalahan, dan dengan demikian karunia nubuat masih ada sampai sekarang, dan karunia ini tidak memiliki sifat berotoritas atau tak bisa salah. Dua argumen yang mendukung anggapan bahwa nubuat masih mungkin mengandung kesalahan akan disebutkan di sini. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa para nabi masih bisa salah dalam bernubuat mengatakan bahwa orang percaya didorong untuk menguji nubuat-nubuat untuk menemukan kesalahan-kesalahannya, dan mereka tidak perlu menilai asli-tidaknya nabi-nabi itu sendiri. Kedua, Agabus menjadi contoh seorang nabi yang memberikan nubuat yang salah saat ia mengatakan bahwa orang-orang Yahudi akan mengikat Paulus dan menyerahkannya kepada orang Romawi (Kis. 21:11), namun hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, orang-orang Yahudi berusaha membunuh Paulus, dan orang-orang Romawi justru menyelamatkannya dari tangan mereka (Kis. 21:31-36). Namun, ada alasan yang kuat untuk meragukan anggapan bahwa nubuat masih bisa mengandung kesalahan itu keliru, dan dengan demikian tidak ada dasar untuk memandang karunia nubuat sebagai sesuatu yang masih ada sampai saat ini.

  1. Beban pembuktian ada pada mereka yang mengatakan bahwa nubuat Perjanjian Baru berbeda dengan nubuat Perjanjian Lama. Kita melihat dalam Ulangan 18 bahwa tanda nabi-nabi yang benar adalah bahwa nubuat-nubuat mereka menjadi kenyataan. Jika nubuat-nubuat mereka mengandung kesalahan, mereka akan ditolak dan dianggap sebagai nabi-nabi palsu. Yeremia berkata bahwa para nabi palsu bernubuat “palsu demi nama-Ku” dan memberikan “penglihatan bohong” (Yer. 14:14). Yehezkiel mendakwa para nabi yang memberikan penglihatan-penglihatan “yang menipu dan yang mengucapkan tenungan-tenungan bohong” (Yeh. 13:9). Maka jelaslah bahwa nubuat Perjanjian Lama tak bisa salah dan harus tak bercacat, dan kesimpulan paling alamiahnya adalah bahwa hal yang sama juga berlaku untuk nubuat Perjanjian Baru.
  2. Mereka yang mendukung anggapan bahwa nubuat-nubuat Perjanjian Baru bercampur dengan kesalahan, entah dalam penerimaan atau penyampaiannya, mengatakan bahwa dalam 1 Tesalonika 5:19-20 dan 1 Korintus 14:29 dst., nubuat-nubuat itulah yang harus dinilai, bukan para nabi yang mengatakannya. Para nabi, menurut bacaan ini, tidak perlu diperkecualikan sebagai nabi-nabi palsu apabila mereka salah dalam menubuatkan. Nubuat-nubuat itu harus disaring dan kesalahan-kesalahan dalam nubuat itu ditolak, namun bukan para nabinya sendiri. Upaya untuk membedakan nubuat Perjanjian Baru dengan nubuat Perjanjian Lama ini tidaklah persuasif karena satu-satunya cara untuk menentukan apakah seseorang adalah nabi sejati atau bukan, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, adalah dengan cara menguji nubuat-nubuatnya. Standar dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah sama. Paulus menyuruh gereja untuk mengevaluasi nubuat-nubuat karena gereja membedakan antara nabi-nabi yang sejati dan yang palsu dengan menguji nubuat-nubuat mereka.
  3. Yesus memperingatkan tentang bahayanya “nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas” (Mat. 7:15). Dia memperingatkan kita bahwa “banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang” (Mat. 24:11). Petrus menasihati gereja untuk waspada terhadap “nabi-nabi palsu” dan “guru-guru palsu” (2 Pet. 2:1). Yohanes mengatakan kepada kita agar jangan “percaya kepada setiap roh”, tetapi “ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Tuhan” (1 Yohanes 4:1). Gereja harus membeda-bedakan mana yang palsu dan mana yang benar, dan aktivitas seperti itu sangatlah penting karena, seperti yang Yohanes katakan, ada banyak nabi palsu di dunia ini. Jika para nabi Perjanjian Baru bernubuat dengan salah, maka menjadi mustahil untuk membedakan siapa nabi-nabi palsu itu.
  4. Kita tidak memiliki contoh kredibel di dalam Perjanjian Baru tentang para nabi sejati yang salah menubuatkan.Ketika Agabus menubuatkan dalam Kisah Para Rasul 11 bahwa akan ada bencana kelaparan, nubuatnya itu menjadi kenyataan. Demikian pula, nubuat Agabus tentang Paulus yang diikat dan diserahkan kepada orang Romawi dalam Kisah Para Rasul 21:11 tidaklah salah. Mereka yang melihat adanya kesalahan-kesalahan dalam nubuat-nubuat Perjanjian Baru mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak sesuai dengan yang dinubuatkan oleh Agabus karena Paulus diselamatkan dari orang-orang Yahudi, bukan diserahkan oleh mereka. Namun ketika Paulus menceritakan kepada orang-orang Yahudi di Yerusalem tentang apa yang terjadi padanya di Roma, ia menggunakan kata “diserahkan” (Kis. 28:17, paradothēn dari paradidōmi) yang sama dengan kata yang digunakan oleh Agabus untuk menyatakan nubuatnya (Kis. 21:11). Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Lukas percaya bahwa nubuat Agabus tidak salah.

Agabus menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang nabi, dengan menggunakan simbolisme kenabian, yang merupakan ciri khas para nabi Perjanjian Lama, ketika ia mengambil ikat pinggang Paulus dan mengikat kedua tangan dan kakinya. Keaslian Agabus sebagai seorang nabi juga terbuktikan dengan formula kenabian yang digunakannya, saat ia menyatakan, “Demikianlah kata Roh Kudus.” Kata tade yang diterjemahkan “demikian” digunakan ratusan kali dalam Perjanjian Lama untuk kata-kata otoritatif para nabi. Lukas menggunakan formula ini untuk menggarisbawahi bahwa Agabus berbicara dari Roh Kudus, seperti yang dilakukan para nabi Perjanjian Lama.

Mungkin teks paling sulit bagi mereka yang berpikir bahwa nubuat dalam Perjanjian Baru tak bisa salah adalah Kisah Para Rasul 21:4 dan 21:12-13. Sahabat-sahabat Paulus mengatakan kepadanya agar tidak pergi ke Yerusalem “oleh bisikan Roh” karena diprediksikan bahwa ia akan menderita di sana, namun Paulus bersikeras pergi ke Yerusalem dan menyatakan bahwa ia dipimpin sang Roh dalam keputusannya (Kis. 19:21-22). Mereka yang berpikir bahwa nubuat Perjanjian Baru bercampur dengan kesalahan mengatakan bahwa di sini kita memiliki contoh yang jelas tentang kesalahan dalam nubuat. Interpretasi ini tentu mungkin saja. Namun pembacaan bukti lainnya jauh lebih meyakinkan, dan pembacaan ini mendukung anggapan bahwa nubuat-nubuat Perjanjian Baru tak bisa salah.

Dalam Kisah Para Rasul 21:4 nubuat itu benar adanya (Paulus akan menderita), namun kesimpulan yang ditarik dari nubuat itulah (seharusnya Paulus jangan pergi ke Yerusalem) yang keliru. Kesimpulan yang ditarik dari nubuat itu bukanlah bagian dari nubuat itu sendiri. Jadi, nubuat bahwa Paulus akan menghadapi penderitaan di Yerusalem itu akurat dan diilhami oleh Roh; kesimpulan yang diambil orang-orang dari nubuat itulah—bahwa Paulus seharusnya jangan pergi ke Yerusalem—yang keliru. Kesimpulan itu bukan berasal dari sang Roh. Bukanlah tujuan Lukas untuk menjelaskan dengan tepat natur dari nubuat di sini, dan ia berasumsi bahwa para pembacanya akan menyadari bahwa nubuat tak pernah bisa salah. Kita harus menyadari bahwa tujuan cerita ini bukanlah untuk merefleksikan natur nubuat. Kita tidak berhak menuntut lebih banyak dari apa yang ditegaskan oleh teks ini.

Kesimpulannya

Karunia-karunia mukjizat telah berhenti sejak karunia-karunia itu membuktikan pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Fondasi gereja telah diletakkan dan kini dilestarikan dalam Kitab Suci, kanon Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kita tidak mengharapkan adanya pewahyuan baru. Kita belum banyak membahas tentang karunia bahasa lidah di sini, namun bukti dalam Perjanjian Baru menunjukkan bahwa karunia bahasa lidah adalah kemampuan berbicara dalam bahasa-bahasa asing, bukan ocehan-ocehan ekstatik. Kita tidak memiliki bukti bahwa orang-orang masih menerima karunia semacam itu sekarang, dan bahasa lidah yang ditafsirkan tampaknya disejajarkan setara dengan nubuat (1 Kor. 14:1-5). Kita memiliki bukti kuat bahwa karunia-karunia kerasulan dan nubuat telah berakhir, dan dengan demikian posisi Ketidakberlanjutan lebih layak untuk dipercaya.