Apakah Berpuasa Itu Merupakan Suatu Perintah?

Matius 6:16-18

Selasa, 23 Januari 2024

John MacArthur

 

Berikut ini adalah kutipan dari Tafsiran Perjanjian Baru MacArthur mengenai Injil Matius 6.

Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. (Mat. 6:17–18, PBTB2). Puasa disebutkan sekitar tiga puluh kali dalam Perjanjian Baru (PB) dan hampir selalu dalam arti yang positif. Ada kemungkinan berpuasa bahkan terlalu ditekankan di beberapa tempat dalam gereja mula-mula. Setidaknya empat kali referensi tentang berpuasa tampaknya telah disisipkan ke dalam teks asli yang tidak ditemukan dalam naskah-naskah yang paling awal dan terbaik (Mat. 17:21; Mar. 9:29; Kis. 10:30; 1 Kor. 7: 5). Namun, melalui berbagai catatan yang akurat lainnya, baik dalam Injil maupun surat-surat yang lain dalam alkitab, menunjukkan bahwa berpuasa dengan sepantasnya adalah bentuk pengabdian rohani yang benar.

Pernyataan Yesus apabila kamu berpuasa  (lih. Mat. 6:16) menunjukkan bahwa berpuasa adalah hal yang normal dan dapat diterima dalam kehidupan Kristen. Dia berasumsi para pengikutNya akan berpuasa pada waktu-waktu tertentu. Namun, Yesus tidak memberikan perintah atau menentukan waktu, tempat, atau cara tertentu [untuk berpuasa]. Karena validitas dari Hari Pendamaian [Ima. 23:27] berakhir ketika Yesus melakukan pengorbanan satu kali untuk selama-lamanya di atas kayu salib (Ibr. 10:10), maka satu-satunya waktu yang ditetapkan untuk berpuasa [bagi umat Tuhan] pun kini tidak ada lagi.

Murid-murid Yesus tidak berpuasa ketika Dia masih bersama-sama dengan mereka karena berpuasa terutama diasosiasikan dengan saat berkabung atau saat-saat lainnya di mana ada kebutuhan atau pergumulan rohani. Ketika murid-murid Yohanes Pembaptis bertanya pada Yesus mengapa murid-muridNya tidak berpuasa seperti yang dilakukan oleh mereka dan orang-orang Farisi, Dia menjawab, “…. Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka?  Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa” (Mat. 9:14–15, PBTB2). Berpuasa pada bagian ini dikaitkan dengan masa berdukacita/berkabung.

Berpuasa tidak pernah ditunjukkan dalam Kitab Suci sebagai sarana untuk meningkatkan pengalaman spiritual, penglihatan, wawasan atau kesadaran yang khusus—seperti yang diklaim oleh kebanyakan orang mistik, termasuk beberapa orang Kristen yang percaya akan hal-hal mistik. Berpuasa cocok dilakukan pada zaman ini karena Kristus secara fisik memang sudah tidak ada di muka bumi ini. Namun, berpuasa hanya cocok dilakukan sebagai respons terhadap berbagai masa ujian, pencobaan, atau pergumulan yang khusus.

Berpuasa pantas dilakukan ketika [seseorang] sedang berada dalam masa berkabung. Ketika Tuhan membuat anak pertamanya Daud yang dilahirkan Batsyeba jatuh sakit, maka Daud berpuasa sambil memohon agar bayi itu tetap hidup (2 Sam. 12:16). Dia juga berpuasa ketika Abner meninggal (2 Sam. 3:35). Daud bahkan berpuasa mewakili para musuhnya. “… ketika mereka sakit, aku memakai pakaian kabung; aku menyiksa diriku dengan berpuasa, dan doaku kembali timbul dalam dadaku (Maz. 35:13, TB).

Pada saat-saat duka yang mendalam seperti itu, maka berpuasa merupakan respons yang alamiah dari manusia. Kebanyakan orang kemudian merasa tidak ingin makan. Nafsu makan mereka hilang. Makanan menjadi hal terakhir yang mereka pikirkan. Kecuali jika seseorang menjadi sangat lemah karena kelaparan atau mempunyai alasan medis tertentu sehingga perlu makan, kita tidak membantu mereka dengan meminta mereka untuk makan.

Bahaya yang luar biasa sering kali mendorong kita untuk berpuasa. Raja Yosafat mengumumkan puasa nasional di Yehuda ketika mereka diancam dengan serangan dari bangsa Moab dan Amon (2 Taw. 20:3). Dari sudut pandang manusia, mereka tidak mungkin menang, dan mereka berseru kepada Tuhan memohon pertolongan sambil berpuasa. Ratu Ester, para pelayannya, dan seluruh orang Yahudi di ibu kota Susan berpuasa selama tiga hari penuh sebelum dia menghadap raja untuk memohon agar bangsa Yahudi dilepaskan dari rencana jahat Haman terhadap mereka (Est. 4:16).

Ketika para orang buangan hendak meninggalkan Babel untuk kembali ke Yerusalem, Ezra mengumumkan puasa “supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami” (Ezr. 8:21, TB). Ezra melanjutkan, “Karena aku malu meminta tentara dan orang-orang berkuda kepada raja untuk mengawal kami terhadap musuh di jalan; sebab kami telah berkata kepada raja, demikian: ‘Tangan Allah kami melindungi semua orang yang mencari Dia demi keselamatan mereka, tetapi kuasa murka-Nya menimpa semua orang yang meninggalkan Dia. Jadi berpuasalah kami dan memohonkan hal itu kepada Allah dan Allah mengabulkan permohonan kami’” (Ezr. 8:22-23, TB).

Pertobatan sering kali disertai dengan berpuasa. Daud berpuasa setelah melakukan dosa gandanya, yaitu ketika melakukan perzinahan dengan Batsyeba dan kemudian mengirim suaminya, Uria, ke garis depan pertempuran untuk dibunuh. Daniel berpuasa sambil berdoa agar Tuhan mengampuni dosa-dosa bangsanya. Ketika Elia menghadapkan Ahab dengan penghakiman Allah atas kejahatannya yang besar, maka raja “mengoyakkan pakaiannya, mengenakan kain kabung pada tubuhnya dan berpuasa. Bahkan ia tidur dengan memakai kain kabung, dan berjalan dengan langkah lamban” (1 Raj. 21:27, TB). Karena ketulusannya Ahab, Tuhan kemudian menunda penghakimanNya (1 Raj. 21:29). Berabad-abad kemudian, setelah orang-orang buangan itu kembali dengan selamat ke Yerusalem, bangsa Israel dihukum karena mereka melakukan perkawinan campur dengan orang-orang non-Yahudi yang tidak beriman. Ketika Ezra mengakui dosa tersebut mewakili bangsanya, ia “tidak makan roti dan minum air, sebab ia berkabung karena orang-orang buangan itu telah melakukan perbuatan tidak setia” (Ezr. 10:6, TB).

Ketika penduduk Niniwe mendengar khotbah Yunus, mereka menjadi begitu insaf sehingga mereka percaya kepada Tuhan dan “mengumumkan puasa dan mereka, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung… Lalu atas perintah raja dan para pembesarnya orang memaklumkan dan mengatakan di Niniwe demikian: ‘Manusia dan ternak, lembu sapi dan kambing domba tidak boleh makan apa-apa, tidak boleh makan rumput dan tidak boleh minum air’” (Yun. 3:5, 7, TB). Daripada membenci peringatan akan penghakiman dan kutukan [Tuhan], mereka justru berbalik kepada Allah dan memohon pengampunan dan belas kasihanNya.

Berpuasa terkadang dikaitkan dengan penerimaan atau pemberitaan wahyu khusus dari Tuhan. Ketika Daniel merenungkan prediksi Yeremia mengenai kehancuran Yerusalem selama tujuh puluh tahun, dia “mengarahkan muka(ku) kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu” (Dan. 9:2–3, TB). Ketika dia melanjutkan “berbicara dalam doa”, Daniel mencatat “terbanglah dengan cepat ke arahku Gabriel, dia yang telah kulihat dalam penglihatan yang dahulu itu pada waktu persembahan korban petang hari. Lalu ia mengajari aku dan berbicara dengan aku: ‘Daniel, sekarang aku datang untuk memberi akal budi kepadamu untuk mengerti’” (Dan. 9:21-22, TB). Tidak lama kemudian, sebelum menerima penglihatan yang lain, Daniel berpuasa sebagian dengan meninggalkan “makanan yang sedap… daging dan anggur… sampai berlalu tiga minggu penuh” (Dan. 10:3, TB). Penting untuk dicatat bahwa meskipun berpuasa berkaitan dengan pewahyuan, namun berpuasa bukanlah sarana untuk mencapainya. Puasa yang dilakukan Daniel hanyalah sebuah pelengkap alami dari pencariannya yang mendalam dan putus asa akan kehendak Tuhan.

Kita sering gagal untuk memahami Firman Tuhan sepenuhnya karena, tidak seperti umat Tuhan yang hebat seperti yang dibahas sebelumnya, kita tidak berusaha untuk memahaminya dengan intensitas dan tekad yang tinggi. Melewatkan beberapa kali jam makan mungkin merupakan harga kecil yang rela kita bayar untuk tetap mempelajari Firman sampai pemahaman muncul.

Berpuasa sering kali mengiringi dimulainya suatu tugas atau pelayanan yang penting. Yesus berpuasa empat puluh hari empat puluh malam sebelum Dia dicobai di padang gurun dan kemudian memulai pelayanan khotbahNya. Intensitas dan semangat memberitakan Firman Tuhan dapat menyita pikiran dan hati sehingga makanan tidak mempunyai daya tarik dan tempat [dalam hati kita]. Meskipun berpantang dari makanan sama sekali tidak memiliki nilai spiritual, namun ketika aktivitas makan menjadi gangguan terhadap hal yang jauh lebih penting, maka hal tersebut akan kita tinggalkan dengan sukarela, senang hati, dan tanpa disadari.

Baik sebelum maupun sesudah Roh Kudus mengarahkan jemaat di Antiokhia untuk mengutus Barnabas dan Saulus untuk melakukan pelayanan yang khusus, maka orang-orang berdoa dan berpuasa (Kis. 13:2-3). Ketika kedua abdi Allah itu melayani Firman Allah, mereka berdoa dan berpuasa sambil mengangkat para penatua di gereja-gereja yang mereka dirikan (14:23).

Hanya Tuhan yang tahu seberapa besar kepemimpinan gereja pada saat ini dapat diperkuat jika jemaat bertekad untuk menemukan dan mengikuti kehendak Tuhan. Gereja mula-mula tidak memilih atau mengutus pemimpin secara asal-asalan atau berdasarkan suara terbanyak. Yang terpenting, mereka mencari dan mengikuti kehendak Tuhan. Berpuasa tidak berarti mempunyai kuasa yang lebih untuk memastikan kepemimpinan yang saleh, dibanding dengan adanya kepastian pengampunan, perlindungan, atau hal baik lainnya yang berasal dari Tuhan. Namun, berpuasa mungkin merupakan bagian dari dedikasi yang tulus [dari seseorang] yang bertekad untuk mengetahui kehendak Tuhan dan untuk memiliki kuasaNya sebelum mengambil suatu keputusan, membuat suatu rencana, atau mengambil suatu tindakan. Orang yang dipenuhi dengan kepedulian di hadapan Tuhan tidak akan sempat istirahat makan siang.

Dalam setiap catatan dalam Kitab Suci, puasa yang sejati dikaitkan dengan doa. Anda bisa berdoa tanpa berpuasa, tetapi Anda tidak bisa melakukan puasa yang alkitabiah tanpa berdoa. Berpuasa adalah penegasan doa yang intens; akibat dari pergumulan spiritual yang mendalam di hadapan Tuhan. Berpuasa tidak pernah merupakan suatu tindakan, upacara, atau ritual yang terpisah yang memiliki khasiat atau manfaat dari aktivitas itu sendiri. Tidak ada nilainya sama sekali—bahkan bisa menjadi penghalang rohani dan dosa—jika dilakukan dengan alasan apapun selain untuk mengetahui dan mengikuti kehendak Tuhan.

Berpuasa juga selalu dikaitkan dengan hati yang suci, dan harus dikaitkan dengan hidup yang taat dan saleh. Tuhan memerintahkan Zakharia untuk menyatakan kepada orang-orang, “Katakanlah kepada seluruh rakyat negeri dan kepada para imam, demikian: Ketika kamu berpuasa dan meratap dalam bulan yang kelima dan yang ketujuh selama tujuh puluh tahun ini, adakah kamu sungguh-sungguh berpuasa untuk Aku?… Beginilah firman TUHAN semesta alam: ‘Laksanakanlah hukum yang benar dan tunjukkanlah kesetiaan dan kasih sayang kepada masing-masing! Janganlah menindas janda dan anak yatim, orang asing dan orang miskin, dan janganlah merancang kejahatan dalam hatimu terhadap masing-masing'” (Zak. 7:5, 9–10, TB). Berpuasa selama tujuh puluh tahun tidak ada artinya bagi Tuhan karena tidak dilakukan dengan ikhlas. Seperti orang-orang munafik yang kemudian dikutuk Yesus, orang-orang Israel hanya hidup bagi diri mereka sendiri (Zak. 7:6).

Setelah menegur orang-orang dengan cara yang sama karena puasa mereka yang sombong dan tidak benar, Tuhan berfirman melalui Yesaya, “… Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku!…” (Yes. 58:5–9, TB) Tidak ada puasa yang benar jika tidak disertai dengan hati yang benar, kehidupan yang benar, dan sikap yang benar.

Tetapi apabila engkau berpuasa,  Yesus menyuruh orang-orang yang adalah milikNya, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa. Meminyaki kepala biasanya dilakukan sebagai bentuk perawatan bagian tubuh yang baik. Minyak sering kali diberi wewangian dan sebagian digunakan sebagai parfum. Seperti urusan mencuci muka, meminyaki kepala dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, terutama dengan acara-acara yang lebih formal atau penting. Maksud Yesus adalah orang yang berpuasa hendaknya melakukan segala sesuatu untuk membuat dirinya tampak normal, dan tidak melakukan apa pun yang menarik perhatian atas kekurangan dan pergumulan rohaninya tersebut.

Orang yang dengan tulus ingin menyenangkan Allah akan dengan sengaja menghindari upaya untuk membuat manusia terkagum-kagum. Dia akan memutuskan supaya jangan terlihat oleh orang bahwa (engkau) sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Allah Bapa(mu) yang ada di tempat tersembunyi. Yesus tidak mengatakan kita harus berpuasa dengan tujuan untuk dilihat oleh Tuhan. Berpuasa bukan untuk dijadikan ajang pamer bagi siapa pun, termasuk bagi Tuhan. Puasa yang sejati hanyalah bagian dari doa yang terkonsentrasi dan intens, serta merupakan bentuk kepedulian terhadap Tuhan, kehendakNya, dan karyaNya. Maksud Yesus adalah [Allah] Bapa selalu memperhatikan puasa yang tulus dan ikhlas, dan bahwa Dia tidak pernah gagal memberikan upah atas puasa tersebut. Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.

https://www.gty.org/library/bibleqnas-library/QA0151

Bagikan: