Kristus Plus Asketisme

John MacArthur | Jumat, 10 Januari, 2024

Berikut adalah terjemahan dari artikel “Christ Plus Asceticism” di Grace to You.

Pada suatu hari Minggu pagi, ketika khotbah saya hampir selesai, seorang pria datang menghampiri mimbar dan berteriak dengan sekeras-kerasnya, “Saya mau mengatakan sesuatu. Saya mau mengatakan sesuatu!” Sebelum para penyambut gereja bisa mengawalnya keluar, mesin perekam sempat menangkap apa yang ia teriakkan kepada para jemaat: “Kalian orang-orang agamawi gadungan — orang-orang munafik yang materialistis. Jika kalian sungguh mengasihi Allah, harusnya kalian menjual mobil-mobil dan rumah-rumah mewah kalian itu dan memberikan semua yang kalian miliki kepada orang-orang miskin. Kalian harusnya melayani dalam kemiskinan seperti Yesus.” Itulah sudut pandangnya mengenai kerohanian, dan ia ingin agar semua orang mengetahuinya.

Untungnya, perilaku semacam itu jarang adanya. Tetapi sudut pandang rohani semacam itu sama sekali bukanlah hal yang jarang. Inilah yang disebut asketisme, dan asketisme sudah beratus-ratus tahun lamanya mengancam gereja. Faktanya, itu adalah salah satu dari penambahan-penambahan bidat yang diimbuhkan kepada Injil seperti diperingati Paulus kepada orang-orang Kristen di Kolose agar mereka hindari:

Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia, mengapa kamu menaklukkan dirimu pada berbagai peraturan, seolah-olah kamu masih hidup di dunia: jangan pegang ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini; semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia. Walaupun tampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, peraturan-peraturan ini tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi. (Kolose 2:20-23)

Seorang asket adalah orang yang menjalani hidup dengan penyangkalan diri berlebihan sebagai cara untuk memperoleh pengampunan dari Allah. Ekstremnya asketisme ini seringkali berkaitan dengan apa yang disebut sebagai monastisisme — yang memiliki daya tarik bagi orang-orang yang percaya bahwa penebusan dosa yang berarti kerohanian sejati menuntut agar mereka hidup dalam kemiskinan yang hina, atau meninggalkan segala kepemilikan mereka untuk menjadi seorang biarawati atau biarawan.

Tuhan kita mengharuskan kita untuk memikul salib kita dan mengikuti Dia, dan banyak sekali kesaksian-kesaksian tentang bagaimana diberkatinya penyangkalan diri yang sejati. Secara alkitabiah, penyangkalan diri yang sejati itu bukanlah satu upaya untuk mendapatkan pengampunan atau kerohanian melalui perendahan diri. Penyangkalan diri yang sejati adalah kerelaan dari hati yang didedikasikan untuk melayani Kristus, berapa pun harga yang harus dibayar. Asketisme adalah perkara yang berbeda. Asketisme didorong oleh kebanggaan diri, melainkan kerendahan hati, dan adalah suatu upaya melalui usaha energi jasmani untuk mencapai satu hubungan yang benar dengan Allah, yang sesungguhnya hanya bisa terjadi oleh pembaharuan ilahi melalui iman kepada Yesus Kristus.

Paulus mengatakan bahwa kita telah “mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia” (Kolose 2:20). Artinya, kita tidak berada dalam belenggu sistem agamawi apa pun yang menuntut semacam pantangan supaya kita layak di hadapan Allah. Ajaran-ajaran seperti asketisme itu tidaklah bijaksana ataupun bermanfaat. Justru sebaliknya, ajaran-ajaran itu menyesatkan dan menghancurkan, karena berpura-pura berhikmat dan menetapkan satu standar kerohanian yang sesat — yang keliru, yang “tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi” (Kolose 2:23).

“Tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi” adalah satu ungkapan yang susah untuk ditafsirkan. Kemungkinan ungkapan ini berarti bahwa standar-standar kerohanian yang legalistik dan sesat itu tidak ada gunanya untuk melawan keinginan-keinginan daging. Tentunya memang benar begitu. Asketisme tidak berdaya untuk mengekang kedagingan. Karena itulah banyak orang Kristen yang legalistik jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan amoral yang menjijikkan.

Namun lebih besar lagi kemungkinannya, bahwa ungkapan ini menyatakan bahwa standar-standar kerohanian yang sesat tersebut hanya bermanfaat untuk memuaskan hawa nafsu duniawi. Asketisme yang direka-reka sendiri itu meninggi-ninggikan kedagingan dan membuat seseorang merasa bangga dengan segala pengorbanannya, visi-visi hidupnya, dan prestasi-prestasi rohaniahnya. Sang asket semakin dijauhkan dari Kristus dan diperbudak oleh kesombongan dagingnya.

Kenyataannya, tekad untuk hidup miskin, pengasingan diri, dan penyangkalan diri yang berlebihan tidak akan pernah dipandang Allah atau mendapatkan perkenanan-Nya. Asketisme tidak lebih dari sebuah topeng luar kesalehan yang superfisial untuk menyembunyikan hati penuh kegelapan yang dimiliki oleh semua penyembah berhala. Pertumbuhan yang sungguh-sungguh di dalam kekudusan itu mengalir dari hati yang diperbaharui dan bergembira ketika ia boleh menyenangkan Allah melalui ketaatan. Itulah kehidupan yang sejati dalam Kristus.