Kristus Plus Filsafat

John MacArthur | Rabu, 3 Januari, 2024

Berikut adalah terjemahan dari artikel “Christ Plus Philosophy” di Grace to You.

“Kelihatannya itu ide yang baik saat itu.” Itu adalah pernyataan postmortem yang populer untuk suatu rencana yang akhirnya gagal berantakan. Kenyataannya, ide-ide yang bertujuan baik selalu ada di balik hampir semua karamnya kapal finansial, proyek-proyek yang terbengkalai, dan kegagalan berbagai kebijakan luar negeri yang terjadi di dunia ini. Namun demikian, petualangan untuk menghasilkan ide-ide yang lebih baik dan filsafat-filsafat yang tidak mungkin salah terus berlanjut — bahkan menyerbu ke dalam gereja.

Kata “filsafat” atau “filosofi” — adalah transliterasi kata Yunani “philosophia,” yang secara harfiah artinya adalah “cinta akan kebijakan (hikmat).” Secara garis besar, inilah usaha manusia untuk menjelaskan natur alam semesta, termasuk fenomena dari eksistensi, pemikiran, etika, perilaku, estetika, dan seterusnya.

Pada era Paulus hidup, “segala sesuatu yang berhubungan dengan teori tentang Allah dan dunia dan makna kehidupan manusia disebut sebagai ‘filsafat’ . . . tidak hanya di sekolah-sekolah penyembah berhala, melainkan juga di sekolah-sekolah Yahudi di kota-kota Yunani.” Sejarawan Yahudi abad pertama, Yosefus, menambahkan bahwa ada tiga macam filsafat dalam masyarakat Yahudi: Farisi, Saduki, dan Eseni.

Paulus mengutuki dengan keras semua teori filsafat tentang Allah yang menyatakan asal usul eksistensi dunia dan yang menawarkan petunjuk moral yang berbeda dari apa yang diajarkan melalui pewahyuan ilahi. Ia mengatakan di Kolose 2:8-10:

Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus. Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keilahian, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa.

Istilah “menawan kamu” (Kolose 2:8) datang dari kata Yunani sulagōgeō, yang berarti membawa tawanan atau rampasan perang. Dalam pengertian itu, istilah ini sama artinya dengan menculik. Hal ini memberikan gambaran di mana kesesatan Kristus-plus-filsafat ini menculik jemaat Kolose dari kebenaran menuju kepada perbudakan ajaran sesat. Dengan demikian sang rasul menggambarkan filsafat sebagai seorang pemangsa yang berusaha memperbudak orang-orang Kristen yang tidak cerdas dengan “dusta yang sia-sia” (Kolose 2:8).

“Sia-sia” berbicara tentang sesuatu yang kosong, tidak memiliki kebenaran, tidak berhasil, tidak berbuah, dan tidak berdampak. Filsafat menjanjikan kebenaran, namun sesungguhnya hanyalah dusta belaka — ibarat seorang nelayan yang menangkap mangsa yang lengah dengan menyembunyikan kail yang mematikan itu di dalam umpan makanan yang lezat. Ikan yang berpikir ia baru saja menemukan makanan itu justru menjadi makanan itu sendiri. Sama halnya, mereka yang menyambut filsafat manusia tentang Allah atau manusia itu berpikir bahwa mereka menemukan kebenaran — tanpa sadar bahwa mereka sedang menerima dusta yang sia-sia, yang akan membawa mereka ke dalam keterkutukan kekal.

Filsafat ini tidak ada gunanya sebab ia berakar pada “ajaran turun-temurun
dan roh-roh dunia” (Kolose 2:8) — dan bukan pada Kristus. “Ajaran turun-temurun” artinya adalah spekulasi-spekulasi manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hampir semua filsuf menumpukkan ajaran mereka di atas tumpukan ajaran-ajaran para pendahulu mereka. Seorang filsuf mengembangkan satu pemikiran, lantas filsuf yang lain mengembangkan, dan demikian selanjutnya. Hal ini membentuk satu rentetan dalam alur tradisi manusia yang mengabadikan kesesatan demi kesesatan dan membangun ketidaktahuan.
Ungkapan “ajaran roh-roh dunia” memiliki arti literal “hal-hal di satu kolum” atau “hal-hal berderet di satu baris” (seperti 1, 2, 3, atau A, B, C). Yang dimaksud di sini adalah pelajaran yang biasa diberikan untuk anak kecil. Paulus mengatakan bahwa sekalipun mengaku-ngaku sebagai hikmat yang tinggi, filsafat manusia itu sebenarnya receh — kekanak-kanakan dan mentah. Menelantarkan pewahyuan Kitab Suci untuk menganut filsafat buatan manusia sama saja halnya dengan kembali ke taman kanak-kanak setelah lulus dari universitas. Filsafat manusia yang paling cemerlang sekalipun tidak menawarkan apa pun yang bisa menambahkan sesuatu yang berharga ke atas kebenaran Kristus. Itu semua justru hanya menghalang-halangi dan menghambat hikmat yang sejati — hanya menghasilkan kebodohan yang kekanak-kanakan, kesesatan, dan tipu daya.

Di 1 Korintus 1:18-21 Paulus menyatakan:

Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. Karena ada tertulis: “Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.”

Di manakah orang yang berhikmat? Di manakah ahli Taurat? Di manakah pembantah dari dunia ini? Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan? Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmat, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil.

Hikmat manusia tidak mampu meningkatkan pewahyuan Allah. Faktanya, hikmat manusia itu mau tidak mau justru malah menentang dan berlawanan dengan kebenaran ilahi. Hikmat terhebat dari manusia pun hanyalah ketololan saat dibandingkan dengan hikmat Tuhan yang tidak terbatas.

Toh sebenarnya orang Kristen tidak perlu untuk memandang kepada hikmat manusia. Orang Kristen memiliki pikiran Kristus (1 Korintus 2:16). Hikmat Kristus yang agung, sempurna, dan tak terselami itu dinyatakan-Nya kepada kita di dalam Firman Tuhan dan melalui Roh-Nya. Sudah sepantasnya hal itu menggugah hati kita untuk berseru bersama-sama sang pemazmur:

Betapa kucintai Taurat-Mu!
Aku merenungkannya sepanjang hari.
Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku,
Sebab selama-lamanya itu ada padaku.
Aku lebih berakal budi dari pada semua pengajarku,
Sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan.
Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua,
Sebab aku memegang titah-titah-Mu.
Terhadap segala jalan kejahatan aku menahan kakiku,
Supaya aku berpegang pada firman-Mu.
Aku tidak menyimpang dari hukum-hukum-Mu,
Sebab Engkaulah yang mengajar aku.
Betapa manisnya janji-Mu itu bagi langit-langitku,
Lebih dari pada madu bagi mulutku.
Aku beroleh pengertian dari titah-titah-Mu,
Itulah sebabnya aku benci segala jalan dusta. (Mazmur 119:97-104)

Untuk apa kita harus ditawan oleh filsafat, selama kita bisa naik mendaki sampai pada kebenaran sempurna Allah?

Di Kolose 2:9-10 Paulus menarik satu paralel yang penting: “Sebab dalam [Kristuslah] berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keilahian, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia.” “Kepenuhan” dan “dipenuhi” pada bagian ini adalah terjemahan dari kata Yunani yang sama (plērōma). Sebagaimana Kristus itu sepenuhnya ilahi, demikian juga kita sepenuhnya lengkap di dalam Dia. Hikmat manusia tidak menambahkan apa pun ke atas apa yang sudah diwahyukan di dalam Kristus.

Lengkapnya kita di dalam Kristus ini berakar pada keselamatan yang lengkap dan pengampunan yang lengkap, yang digambarkan oleh Paulus di Kolose 2:11-14. Ia mengatakan bahwa kita sudah beralih dari kematian rohani menuju kepada kehidupan rohani melalui pengampunan segala pelanggaran kita (Kolose 2:13). Di Kolose 2:14 Paulus menggambarkan dengan jelas tentang pengampunan itu, ketika ia mengatakan bahwa Kristus telah “menghapuskan surat utang yang dengan ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib.” Saat seseorang tersalib, daftar dari perbuatan kriminalnya seringkali dipakukan pada kayu salib tepat di atas kepalanya. Kematiannya itu adalah pembayaran atas kejahatan-kejahatannya. Kejahatan-kejahatan yang memakukan Yesus ke kayu salib bukanlah kejahatan-kejahatan-Nya melainkan kejahatan-kejahatan kita. Karena Ia telah menanggung hukuman kita, maka Allah menghapuskan surat hutang kita.

Untuk melengkapi keselamatan dan melengkapi pengampunan, Paulus menambahkan lagi satu pemikiran yang ketiga: kemenangan yang lengkap (Kolose 2:15). Dalam kematian dan kebangkitan-Nya Kristus menaklukkan kuasa-kuasa Iblis, sehingga Ia juga memberikan kepada kita kemenangan atas si jahat itu sendiri.

Dalam Kristus kita memiliki keselamtan yang lengkap, pengampunan yang lengkap, dan kemenangan yang lengkap — sumber-sumber yang komprehensif untuk setiap masalah kehidupan. Inilah kelengkapan yang sesungguhnya! Apa lagi yang bisa ditambahkan oleh filsafat?