John MacArthur | Rabu, 6 Maret 2024
Berikut adalah terjemahan dari artikel “Why Do We Call Him Lord?” di Grace to You.
Yesus adalah Tuhan.
Itulah inti yang adalah satu-satunya, yang terutama, yang mendasar, dan yang paling membedakan di dalam kekristenan. Itu jugalah pengakuan iman pertama yang esensial yang harus dilakukan oleh setiap orang Kristen sejati: “Jika engkau mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dengan hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka engkau akan diselamatkan.” (Roma 10:9).
Kepercayaan bahwa seseorang bisa menjadi seorang Kristen sejati sedangkan seluruh cara hidupnya, caranya menilai segala sesuatu, perkataannya, dan perilakunya ditandai dengan penolakan yang keras kepala untuk tunduk kepada Kristus sebagai Tuhan adalah satu gagasan yang bahkan tidak layak untuk kita gubris. Pemikiran semacam itu tidak akan pernah bisa Anda temukan dalam semua kumpulan doktrin dan penghayatan iman Kristen yang layak dipercaya dari era bapa-bapa gereja mula-mula sampai dengan era Reformasi Protestan dan setidaknya tiga setengah abad setelah itu. Pengaruh doktrin yang anti terhadap keselamatan bertuhan, yang meluas di antara gerakan injili pada masa sekarang ini, sebenarnya mencerminkan betapa dangkal dan miskinnya kerohanian gerakan injili kontemporer. Bahkan tidak diragukan lagi bahwa itulah salah satu penyebab utama kebangkrutan gerakan injili. Anda tidak bisa memisahkan ketuhanan Kristus dari kabar Injil tanpa mengacaukan iman tepat pada titik intinya. Inilah yang sedang terjadi dalam tubuh gereja sekarang.
Pengajaran dan pelayanan Yesus selalu menempatkan agenda ketuhanan-Nya pada titik pusat. Ia tidak pernah sekalipun malu-malu untuk menyatakan otoritas-Nya sebagai Tuhan yang berdaulat. Ia menegaskan hal itu di hadapan murid-murid-Nya, musuh-musuh-Nya, juga semua orang lain yang bertanya kepada-Nya — menolak untuk mengecilkan kesan dari tuntutan-Nya agar orang tunduk tanpa syarat kepada-Nya. Maka Injil yang sejati menurut Yesus adalah kabar baik yang tidak bisa diceraikan dari realitas ketuhanan-Nya. Ketika Yesus memanggil orang untuk mengikut Dia, Ia tidak sedang mencari para pendamping untuk menjadi kaki tangan atau pengagum-Nya yang bisa Ia hibur dengan aneka mukjizat. Ia memanggil orang untuk secara sepenuhnya dan tanpa syarat tunduk di bawah ketuhanan-Nya.
Suatu Perkataan Tentang Kata-Kata
Pernyataan yang paling sering diterjemahkan sebagai “Tuhan” dalam Perjanjian Baru adalah kata Yunani kurios. Kata ini artinya adalah seseorang yang memiliki kuasa, kepemilikan, dan hak yang tidak perlu dipertanyakan lagi untuk memerintah. Satu lagi istilah Yunani yang serupa — yang juga sering diterjemahkan “Tuan” — dalam Perjanjian Baru adalah kata “despotes.” Kata tersebut (yang dalam bahasa Inggris menjadi “despot”) menggambarkan seorang penguasa dengan kekuasaan mutlak atas semua yang berada di bawah kuasanya. Profesor Murray J. Harris membedakan kedua istilah itu sebagai berikut:
Jelaslah bahwa despotes dan kyrios secara garis besar saling melengkapi di dalam artinya; keduanya bisa diterjemahkan sebagai “tuan” atau “penguasa.” Apabila kita harus membedakan kedua istilah tersebut sehubungan dengan penekanannya, maka kyrios berarti “Tuhan yang berdaulat,” dan despotes “Tuhan secara mutlak.”
Kedua kata ini sangatlah kuat maknanya. Keduanya adalah bagian dari kosa kata perbudakan pada era Perjanjian Baru. Kedua kata ini menggambarkan seorang tuan yang memiliki kekuasaan mutlak atas orang lain — seorang pemilik budak. Semua orang yang berada di bawah kekuasaannya wajib mentaati segala yang diperintahkan oleh sang tuan mereka itu, bukan saja karena mereka memilih untuk taat, namun karena mereka tidak memiliki hak kebebasan apa pun untuk melakukan hal lain selain dari pada itu. Karenanya, di mana pun ada seorang tuan (kurios) atau penguasa (despotes), selalu ada seorang budak (doulos). Istilah yang satu secara keharusan dan secara aksiomatis selalu mengimplikasikan istilah yang lainnya. Hal itu menjelaskan keheranan Yesus terhadap kebiasaan mereka yang suka menghormati Dia di bibir saja, namun tidak dengan hidup mereka: ” Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?” (Lukas 6:46).
Mungkin Anda mengenali kata Yunani doulos karena kata ini cukup lazim dipergunakan di dalam Perjanjian Baru. Kata ini dan turunannya muncul lebih dari 130 kali dalam Perjanjian Baru — seringkali sebagai satu deskripsi dari apa artinya menjadi seorang Kristen sejati: “Orang merdeka yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya [budak-Nya]. Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar” (1 Korintus 7:22-23).
Doulos bukan satu istilah yang ambigu artinya. Doulos menjelaskan satu konsep yang sangat spesifik, yang — meskipun menjijikkan bagi budaya kita dan bagi pemikiran natural kita — tidak seharusnya kita redupkan atau hindari. Inilah kata utama dalam bahasa Yunani yang dipakai untuk menggambarkan budak yang terikat, rendah, dan hina — seorang yang sesungguhnya dimiliki oleh seorang tuan yang secara hukum berhak untuk memaksa dia bekerja tanpa gaji. Dengan kata lain, seorang doulos adalah seorang tanpa kedudukan atau hak apa pun.
Sayangnya, para pembaca Alkitab dalam bahasa Inggris sudah sejak lama dihalang-halangi dari dampak penuh kata doulos ini karena kecenderungan sejak dahulu kala di antara para penerjemah Alkitab untuk meredam arti harfiah dari kata tersebut — mereka menerjemahkannya menjadi “pelayan” atau “hamba,” tetapi bukan “budak.” Sudahlah pasti hal itu mencerminkan rasa tidak nyaman dari masyarakat sejak dahulu dengan praktek perbudakan dan brutalnya kekejaman yang selalu terjadi dalam berbagai rupa institusi perbudakan manusia.
Tetapi, melayani dan menjadi budak bukanlah hal yang sama, dan sungguh sangat disayangkan bahwa dampak penuh dari ekspresi kata doulos ini sudah begitu lama disamarkan dalam terjemahan-terjemahan bahasa Inggris kita.
Doulos berarti perbudakan, apa adanya dan sesederhana itu saja. Istilah ini sama sekali bukan istilah yang kabur atau tidak jelas. Doulos menggambarkan seorang tanpa kemerdekaan pribadi dan hak-hak pribadi, yang keberadaannya didefinisikan oleh pelayanan yang dilakukannya bagi orang lain. Ini adalah semacam perbudakan di mana “hak otonomi seseorang disisihkan, dan satu kehendak asing mengambil alih kuasa atasnya.” Ini adalah ketundukan total dan tanpa syarat di bawah kendali dan perintah dari satu otoritas yang lebih tinggi — perbudakan, bukan sekedar pelayanan berdasarkan keinginan sendiri.
Misalnya, di Matius 6:24 Yesus berkata: “Tak seorang pun dapat menjadi budak untuk dua tuan” (terjemahan secara literal). Terjemahan ini jauh lebih kuat (dan sebenarnya justru lebih masuk akal) dari pada apa yang biasanya kita temukan dalam kebanyakan versi-versi terjemahan yang ada: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan.” Seorang pegawai dengan dua pekerjaan bisa saja melayani dua orang tuan. Tetapi perbudakan — bukan sekedar melayani — adalah arti yang dimaksudkan oleh kata doulos dan semua turunannya.
Seperti yang ditunjukkan oleh Harris, “ada satu perbedaan penting. Seorang hamba itu melayani seseorang, namun seorang budak itu dimiliki oleh seseorang.” Ini bukan sekedar nuansa. Kitab Suci berulang kali dan secara tegas menempatkan orang Kristen di dalam kategori yang terakhir itu: “Tidak tahukah kamu bahwa . . . kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar” (1 Korintus 6:19-20). Kita memiliki seorang Tuhan yang sudah membeli kita (2 Petrus 2:1). Lebih spesifik lagi, kita dibeli untuk Allah dengan darah Kristus yang mahal harganya (Wahyu 5:9). Inilah inti utama dari apa artinya menjadi seorang Kristen:
Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi, baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup. (Roman 14:7-9)
Permasalahan Injil Rasa Nyaman
Pemikiran tentang orang Kristen sebagai seorang budak dan Kristus sebagai Tuhan sudah hampir lenyap sepenuhnya dari kosa kata kekristenan injili kontemporer. Bukan saja budak adalah satu kata buruk yang dianggap menyinggung perasaan masyarakat, tetapi generasi masa kini juga mencintai konsep-konsep kemerdekaan dan pemenuhan keinginan pribadi. Manusia modern dan pascamodernisme haus akan kebebasan, dan sementara gereja sudah menjadi semakin duniawi, kebenaran alkitabiah tentang kewajiban kita kepada-Nya sebagai Tuhan dan Penguasa kita yang mutlak sudah hilang dari kesadaran gerakan injili. Gereja pada generasi kita sudah mengurang-ngurangi keseluruhan dari iman yang menyelamatkan dan pemuridan Kristiani menjadi satu klise yang asal-asalan (namun lebih tidak menyinggung perasaan masyarakat): “hubungan pribadi dengan Yesus.” Ambiguitas ungkapan mencerminkan kejanggalan yang merusak dan inilah cara di mana gerakan injili telah memperlakukan (dan salah menangani) Injil selama beberapa dekade terakhir. Seakan-akan Kristus bisa menjadi sahabat intim seseorang tanpa menjadi Tuhan orang itu.
Itulah, pada akhirnya, inti dari gerakan pesan yang anti-ketuhanan: Anda bisa mendapatkan Yesus sebagai Juruselamat dan Sahabat di sini juga dan saat ini juga dan sesudah itu baru Anda memutuskan bersedia tunduk pada otoritas-Nya atau tidak. Susah membayangkan adanya pemelintiran yang lebih mencelakakan dari arti sebenarnya menjadi seorang Kristen. Ingat bahwa di antara kedua belas murid yang mula-mula, hanya satu orang saja yang ingin dilihat sebagai “sahabat” Yesus tanpa pernah mau bersungguh-sungguh tunduk pada wewenang-Nya sebagai Tuhan dan Penguasa — dan itulah Yudas. Banyak orang (dan bahkan Iblis sendiri) memiliki sejenis “hubungan pribadi” dengan Yesus sepanjang masa pelayanan-Nya di bumi tanpa mau tunduk kepada-Nya sebagai Tuhan.
Kita harus izinkan Kitab Suci menjelaskan dirinya sendiri, dan sekaranglah waktunya untuk berhadapan langsung dengan kenyataan dari kebenaran yang sulit ini. Menjadi budak Kristus bukanlah satu fitur kecil atau sampingan dari pemuridan sejati. Ini bukan sekedar bahasa simbolis atau ungkapan yang tidak memiliki arti literal. Itu adalah persis bagaimana Yesus sendiri mendefinisikan arti “hubungan pribadi” yang harus Ia miliki dengan semua pengikut sejati (Yohanes 12:26; 15:20).
Bahkan faktanya, aspek-aspek fundamental dari perbudakan adalah fitur-fitur utama dari penebusan kita yang paling ditekankan oleh Kitab Suci. Kita dipilih (Efesus 1:4-5; 1 Petrus 1:1; 2:9); dibeli (1 Korintus 6:20; 7:23); dimiliki oleh Tuhan kita (Roma 14:7-9; 1 Korintus 6:19; Titus 2:14); tunduk pada kehendak sang Tuhan dan kendali-Nya atas kita (Kisah Para Rasul 5:29; Roma 6:16-19; Filipi 2:5-8); dan bergantung sepenuhnya pada sang Tuhan untuk segala hal dalam hidup kita (2 Korintus 9:8-11; Filipi 4:19). Pada akhirnya kita akan dipanggil untuk memberikan pertanggungjawaban (Roma 14:12); dinilai (2 Korintus 5:10); dan dihajar atau diberi upah oleh-Nya (Ibrani 12:5-11; 1 Korintus 3:14). Semuanya itu adalah komponen-komponen esensial dalam perbudakan.
Apa Yang Akan Yesus Katakan?
Yesus sendiri memperkenalkan metafora budak di dalam Perjanjian Baru. Ia sering kali menarik satu garis lurus yang menghubungkan perbudakan dan pemuridan. Di Matius 10:24-25, contohnya, Ia mengatakan, “Seorang murid tidak lebih daripada gurunya, atau seorang hamba daripada tuannya. Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya.” Melalui perumpamaan-perumpamaan yang diceritakan-Nya, ia sering menggunakan perbudakan sebagai simbol dari pemuridan. Kata-kata di Matius 25:21 adalah apa yang setiap murid sejati seharusnya harapkan untuk dengar pada akhir hidup mereka: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam hal kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam hal yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”
Yesus selalu menggambarkan pemuridan sejati dengan istilah-istilah ini, dan Ia melakukannya tanpa sedikit pun upaya untuk menyesuaikan pesan-Nya agar lebih bisa diterima oleh para pendosa dengan pikiran duniawi mereka. Baik khotbah-Nya maupun pengajaran-pengajaran khusus-Nya dikenal karena keterusterangannya yang tidak ditutup-tutupi. Tak ada yang Ia katakan mengenai harga menjadi murid-Nya yang pernah Ia perhalus, kurangi, encerkan, poles, perlunak, permudah, atau memperbantal dengan kata-kata lembut.
Dia sedikit pun tidak pernah mendorong orang-orang yang ingin mengikuti-Nya supaya bisa makan dan mengalami mukjizat-mukjizat-Nya. Faktanya, apa pun yang mungkin Ia lakukan dilakukan-Nya untuk menghalangi orang-orang semacam itu (Yohanes 6). Ia hanya memanggil orang-orang yang hancur hatinya yang merasa muak dengan dosa mereka sendiri, yang menyadari keadaan mereka yang tanpa harapan, dan mereka yang oleh karena itu bersedia untuk meninggalkan segala sesuatu demi menjadi murid-murid-Nya (Lukas 5:32; 14:33). Ia tidak pernah menutupi-nutupi penjelasan-Nya atas apa ongkos yang harus dibayar untuk mengikut Dia. Dan (bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh para pemimpin gereja masa kini) Ia tidak mengkhususkan kata-kata keras-Nya bagi orang-orang yang sudah percaya saja. Ia menyatakan hal-hal yang sama baik ketika Ia berbicara di hadapan orang-orang yang tidak percaya (Lukas 14:25-35) atau kepada orang-orang yang akan menjadi para pengikut-Nya yang menyatakan siap untuk mengikut Dia kemana pun (Lukas 9:57-58). Kadang kala Ia seperti hampir seolah-olah berusaha menolak sebanyak mungkin orang-orang yang berminat kepada-Nya — dan memang benar, Ia memang menolak rombongan-rombongan orang yang sekedar ingin tahu dan para pemuja yang setengah hati (Yohanes 6:66-67).
Ia menuntut agar orang menyangkal diri mereka sepenuhnya. Ia menuntut ketaatan mereka secara mutlak. Ia memerintahkan mereka untuk siap mati bagi diri-Nya. Ia meminta mereka untuk melepaskan semua prioritas normal mereka — termasuk keluarga, sahabat-sahabat, rencana-rencana pribadi, ambisi, dan segala hal lainnya di dunia ini. Seluruh hidup mereka harus secara eksplisit dan tidak dapat ditarik kembali mereka letakkan di bawah otoritas-Nya. Ketuhanan-Nya bersifat total dan tidak bisa sedikit pun ditawar. Itulah persyaratan-Nya, dan semua calon murid yang berusaha untuk mendiktekan persyaratan lain akan selalu ditolak (Lukas 9:59-62).