John MacArthur | Senin, 4 Maret 2024
Berikut ini adalah terjemahan dari artikel “Abandoning Christ’s Gospel” di Grace to You.
Dengarkanlah presentasi Injil pada umumnya hari-hari ini. Anda akan mendengar para pendosa diberikan ungkapan seperti “terima Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi”; “minta Yesus masuk ke dalam hatimu”; “undang Kristus ke dalam hidupmu”; atau “ambil keputusan untuk Kristus.” Anda mungkin sudah sangat terbiasa mendengar ungkapan-ungkapan itu sehingga Anda akan kaget ketika menyadari bahwa tidak satu pun dari ungkapan-ungkapan itu memiliki dasar terminologi alkitabiah. Ungkapan-ungkapan itu adalah produk-produk dari satu Injil yang diencerkan. Itu bukanlah Injil yang menurut Yesus.
Injil yang diberitakan Yesus adalah suatu panggilan untuk menjadi murid, suatu panggilan untuk mengikut Dia dalam ketaatan yang tunduk, bukan sekedar permohonan untuk mengambil keputusan atau mengucapkan suatu doa. Pemberitaan dari Yesus membebaskan orang dari belenggu dosa mereka sambil secara bersamaan mengkonfrontasi dan menghakimi kemunafikan. Itu adalah tawaran untuk hidup kekal dan pengampunan bagi para pendosa yang sungguh-sungguh bertobat, namun pada saat bersamaan adalah juga teguran untuk orang-orang yang hanya terlihat agamawi dari luar yang hidup tanpa memiliki kebenaran sejati. Pemberitaan dari Yesus memperingatkan para pendosa bahwa mereka harus berbalik dari dosa dan sungguh-sungguh menyambut kebenaran Allah. Dari segala sudut, itu adalah kabar baik, namun sama sekali bukan sekedar prinsip asal-percaya.
Perkataan-perkataan Tuhan kita mengenai hidup kekal pun selalu didampingi dengan peringatan-peringatan keras bagi mereka yang menganggap enteng keselamatan. Ia mengajarkan bahwa mengikut Dia itu ongkosnya sangat mahal, bahwa jalannya sempit dan sedikit yang menemukannya. Yesus mengatakan bahwa banyak dari mereka yang memanggil-Nya sebagai Tuhan akan dilarang masuk ke dalam Kerajaan Surga (lih. Matius 7:13-23).
Gerakan injili zaman sekarang, sebagian besarnya, tidak memedulikan peringatan-peringatan itu. Pandangan umum yang dominan saat ini tentang iman sejati menjadi semakin lama semakin melebar dan semakin dangkal, sementara penggambaran tentang Kristus dalam khotbah dan penginjilan menjadi semakin kusut. Siapa pun yang menyebut dirinya sebagai orang Kristen dengan mudah bisa menemukan para penginjil yang bersedia menerima pengakuan imannya itu, sekalipun belum tentu kelakuan orang itu menunjukkan bukti adanya komitmen kepada Kristus.
Bukti dari Kehidupan Rohani
Satu segmen dari gerakan injili bahkan mengajarkan doktrin bahwa berbalik kepada Kristus itu “tidak memerlukan “komitmen rohani apa pun.” Mereka yang memegang pandangan semacam itu terhadap injil mengajarkan bahwa Kitab Suci menjanjikan keselamatan pada siapa pun yang sekedar percaya pada fakta-fakta tentang Kristus dan mengaku sudah menerima hidup kekal. Tidak perlu harus berbalik dari dosa, tidak perlu ada perubahan dari cara hidup, tidak perlu komitmen apa pun — bahkan tidak perlu kesediaan untuk tunduk sepenuhnya kepada ketuhanan Kristus. Semua itu, kata mereka, hanyalah sekedar usaha manusia, yang hanya bisa merusak kasih karunia dan tidak ada kaitannya dengan iman.
Pemikiran salah semacam itu adalah doktrin keselamatan yang tidak memadai. Itulah pembenaran tanpa pengudusan, dan dampaknya terhadap gereja adalah ibarat bencana besar. Komunitas orang yang mengaku percaya kini dipenuhi oleh orang-orang yang percaya pada satu sistem yang mengajarkan iman yang dangkal dan tidak berguna. Banyak dari mereka yang sungguh-sungguh percaya bahwa dirinya sudah selamat, padahal hidup mereka sama sekali mandul dari buah-buah yang membuktikan iman sejati.
Yesus memberikan satu peringatan yang semestinya membuat orang sadar:
Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan orang yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari hadapan-Ku, kamu sekalian yang melakukan kejahatan!” (Matius 7:21-23, ditambahkan penekanan).
Jelas di sini bahwa tidak satu pun pengalaman masa lalu — bahkan tidak juga bernubuat, mengusir setan, atau mengadakan tanda-tanda dan mukjizat — bisa dianggap sebagai bukti keselamatan, terlepas dari hidup yang taat.
Tuhan kita di sini tidak sedang berbicara tentang satu kelompok tertentu dari para pengikut pinggiran. Akan ada “banyak” yang pada hari itu akan berdiri di hadapan-Nya, dan terkejut luar biasa ketika menyadari bahwa dirinya tidak akan ikut masuk dalam kerajaan-Nya. Saya sendiri kuatir bahwa demikian besar jumlah dari mereka yang sekarang sedang memenuhi bangku-bangku gereja dalam gerakan injili itu akan berada dalam kelompok yang akan ditolak karena mereka tidak melakukan kehendak Bapa.
Orang-orang Kristen kontemporer sudah terkondisi untuk percaya bahwa karena mereka sudah mengucapkan doa tertentu, menandatangani formulir gereja, maju saat panggilan altar, atau memiliki pengalaman lainnya, maka mereka sudah selamat dan tidak perlu lagi mempertanyakan kesejatian keselamatan mereka. Saya pernah menghadiri satu seminar pelatihan penginjilan di mana para pembimbingnya diajarkan untuk memberitahu “orang-orang yang bertobat” bahwa setiap keraguan terhadap keselamatan mereka itu berasal dari Iblis dan harus diabaikan. Itulah satu kekeliruan yang banyak dipercayai orang bahwa siapa pun yang mempertanyakan apakah dia sudah sungguh-sungguh diselamatkan sedang menantang integritas Firman Allah.
Betapa sesatnya pemikiran semacam itu! Kitab Suci mendorong kita agar menguji diri kita sendiri untuk memastikan bahwa kita tetap tegak di dalam iman (2 Korintus 13:5). Petrus menuliskan, “Berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pemilihanmu makin teguh” (2 Petrus 1:10). Sungguhlah benar untuk kita menguji hidup kita dan menilai buah yang kita hasilkan, sebab “setiap pohon dikenal dari buahnya” (Lukas 6:44).
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa bukti dari pekerjaan Allah dalam hidup adalah buah yang tidak bisa dihindari yaitu perilaku yang diubahkan (1 Yohanes 3:10). Iman yang tidak menghasilkan hidup dalam kebenaran adalah iman yang mati dan tidak bisa menyelamatkan (Yakobus 2:14-17). Orang-orang Kristen yang membuat pengakuan iman tetapi tidak menghasilkan buah dari kebenaran sejati akan kesulitan menemukan dasar alkitabiah untuk merasa yakin atas keselamatan mereka (1 Yohanes 2:4).
Keselamatan sejati bukan sekedar dibenarkan. Keselamatan sejati tidak bisa dipisahkan dari regenerasi, pengudusan, dan pada akhirnya permuliaan. Keselamatan adalah pekerjaan Allah yang melaluinya kita “menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya” (Roma 8:29; lih. 13:11). Keyakinan sejati datang ketika kita menyaksikan berjalannya karya pembaharuan Roh Kudus dalam hidup seseorang, bukan karena bersandar pada ingatan pengalaman-pengalaman tertentu.
Salah Menafsirkan Firman
Namun tetap ada orang-orang yang berusaha meyakinkan kita bahwa norma dari keselamatan adalah dengan menerima Yesus sebagai Juruselamat tanpa harus bertunduk kepada-Nya sebagai Tuhan. Mereka membuat satu klaim luar biasa yang mengatakan bahwa semua ajaran selain itu adalah satu injil palsu “karena secara diam-diam menambahkan pekerjaan manusia di atas kondisi yang secara jelas dan sederhana sudah dituliskan di dalam Firman Allah.” Mereka telah menunjukkan bahwa mereka bertentangan dengan pandangan “keselamatan bertuhan” (“lordship salvation”).
Keselamatan bertuhan, seperti yang didefinisikan oleh mereka yang mencapnya sebagai ajaran bidat, adalah “pandangan di mana untuk menerima keselamatan seseorang harus percaya pada Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya dari dosa dan juga harus berkomitmen terhadap Kristus sebagai Tuhan atas seluruh hidupnya, tunduk secara penuh di bawah otoritas-Nya yang berdaulat.”
Sungguh mengejutkan bahwa ada orang yang menyatakan kebenaran itu sebagai tidak alkitabiah atau bidat, namun nyatanya, semakin banyak suara-suara yang menggemakan tuduhan yang sama. Akibatnya, mengakui ketuhanan Kristus dianggap sebagai usaha manusia. Cara pandang yang keliru ini didukung oleh begitu banyak literatur yang mengajarkan bagaimana orang “menjadikan Yesus Kristus sebagai Tuhan dalam hidup mereka.”
Kita tidak “menjadikan” Kristus sebagai Tuhan; Kristus adalah Tuhan! Siapa pun yang tidak bersedia menerima Kristus sebagai Tuhan sudah berdosa karena menolak Dia. “Iman” yang menolak otoritas berdaulat Kristus sebenarnya sama saja dengan ketidakpercayaan. Sebaliknya, mengakui ketuhanan Kristus itu tidaklah lebih dari pada halnya pekerjaan manusia seperti pertobatan (lih. 2 Timothy 2:25) atau pada iman itu sendiri (lih. Efesus 2:8–9). Kenyataannya, penyerahan diri terhadap Kristus adalah satu aspek penting dari iman yang menyelamatkan yang dihasilkan oleh Tuhan, bukan sesuatu yang ditambahkan kepada iman.
Dua pernyataan paling jelas di dalam seluruh Kitab Suci tentang jalan menuju keselamatan dua-duanya menekankan ketuhanan Yesus: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat (Kisah Para Rasul 16:31); dan “Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dengan hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka engkau akan diselamatkan” (Roma 10:9). Khotbah Petrus pada hari Pentakosta diakhiri dengan pernyataan ini: “Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kisah Para Rasul 2:36, ditambahkan penekanan). Tidak ada janji keselamatan yang pernah diulurkan bagi mereka yang menolak untuk menyetujui ketuhanan Kristus. Dengan demikian, tidak ada keselamatan lain apa pun kecuali keselamatan “bertuhan.”
Para penentang doktrin keselamatan bertuhan bahkan dengan bersusah payah berusaha mengklaim bahwa istilah “Tuhan” di dalam ayat-ayat tersebut artinya bukan “Tuan” melainkan adalah satu referensi atas keilahian-Nya semata. Namun misalkan saja pendapat itu kita terima, itu tetap saja menegaskan bahwa mereka yang datang kepada Kristus untuk diselamatkan harus mengakui bahwa Dia adalah Allah. Implikasi dari itu pun sebenarnya lebih menuntut daripada apabila “Tuhan” hanya berarti “Tuan”!
Kenyataannya adalah, “Tuhan” memiliki arti “Allah” dalam seluruh ayat-ayat tadi. Lebih tepatnya, artinya “Allah yang memerintah,” yang justru semakin menguatkan argumen untuk keselamatan bertuhan. Tidak seorang pun yang datang untuk diselamatkan dengan iman yang sejati, yang sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus adalah Allah yang kekal, mahakuasa, dan berdaulat, akan secara sengaja menolak otoritas-Nya. Iman sejati bukan sekedar ucapan di bibir saja. Tuhan kita sendiri menyatakan penghakiman atas mereka yang sekedar menyembah-Nya hanya dengan bibir mereka saja, namun tidak dengan segenap hidup mereka (Matius 15:7-9). Kristus Yesus tidak menjadi Juruselamat siapa pun sampai orang tersebut menerima-Nya sebagaimana Dia adanya — yaitu Tuhan atas segalanya (Kisah Para Rasul 10:36).
A. W. Tozer mengatakan:
Tuhan tidak akan menyelamatkan mereka yang tidak bisa Ia perintahkan. Tuhan tidak akan berbagi otoritas. Anda tidak bisa percaya kepada setengah-Kristus. Kita harus menerima-Nya sebagaimana Ia adanya — Juruselamat yang diurapi dan Tuhan yang adalah Raja segala raja dan Tuan atas segala tuan! Dia bukanlah Dia yang sebagaimana-Nya apabila Dia menyelamatkan kita dan memanggil kita dan memilih kita tanpa pengertian di mana Dia juga akan bisa mengarahkan dan mengendalikan hidup kita.
Iman dan Pemuridan Sejati
Mereka yang mengajarkan bahwa ketaatan dan ketundukan adalah penambahan atas iman yang menyelamatkan terpaksa harus membuat pembedaan secara tegas yang tidak alkitabiah antara keselamatan dan pemuridan. Dikotomi ini, seperti halnya pada istilah Kristen duniawi/rohani, menjadikan adanya dua kelas kekristenan: sekedar percaya dan murid-murid sejati. Hampir semua dari mereka yang berpegang pada posisi ini mengabaikan begitu saja tujuan injili dari hampir semua catatan ajakan Yesus, dengan mengatakan bahwa itu semua hanya berlaku dalam hal membuat murid, bukan dalam hal keselamatan. Seorang penulis mengatakan tentang pandangan ini, “Tidak ada pembedaan yang lebih vital terhadap teologi, yang lebih mendasar terhadap pemahaman yang benar tentang Perjanjian Baru, atau yang lebih relevan terhadap kehidupan dan kesaksian setiap orang percaya.”
Namun justru sebaliknya — tidak ada pembedaan lain yang lebih meremehkan otoritas pemberitaan Yesus. Apakah kita harus percaya bahwa ketika Yesus mengatakan di hadapan orang banyak agar menyangkal diri mereka (Lukas 14:26), agar memikul salib (ayat 27), dan agar meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Dia (ayat 33), kata-kata-Nya itu tidak memiliki arti apa pun bagi orang-orang yang belum selamat di dalam kerumunan itu? Bagaimana mungkin itu benar adanya tentang Satu-satunya yang berkata bahwa Ia datang bukan untuk memanggil orang yang benar tapi para pendosa? (Matius 9:13).
James M. Boice, dalam bukunya, Christ’s Call to Discipleship, secara mendalam menuliskan perihal dikotomi keselamatan/pemuridan tersebut, di mana secara tegas ia menyebutnya sebagai “teologi cacat”:
Teologi semacam itu memisahkan iman dari pemuridan dan kasih karunia dari ketaatan. Teologi cacat itu mengajarkan bahwa Yesus bisa diterima sebagai Juruselamat seseorang tanpa harus diterima sebagai Tuhannya.
Inilah satu kecacatan yang sering terjadi pada masa-masa kemakmuran. Pada hari-hari kesukaran, terutama penganiayaan, mereka yang sedang berada dalam proses menjadi orang Kristen secara seksama menghitung ongkos menjadi murid Kristus sebelum mulai mengangkat salib orang Nasaret. Para pengkhotbah tidak bisa memperdayakan mereka dengan janji-janji palsu mengenai hidup yang mudah atau kenikmatan dosa-dosa. Namun pada masa-masa yang mudah, ongkos menjadi murid kelihatan seperti tidak terlalu berat, dan orang dengan gampangnya mengutip nama Kristus tanpa mengalami transformasi hidup secara radikal yang biasanya ditunjukkan oleh pertobatan sejati.
Panggilan menuju Kalvari harus dikenali sebagaimana adanya: satu panggilan untuk pemuridan di bawah ketuhanan Yesus Kristus. Menanggapi panggilan itu berarti menjadi orang percaya. Apa pun yang kurang dari itu pada dasarnya adalah sama saja dengan ketidakpercayaan.
Injil menurut Yesus Kristus secara eksplisit dan tegas menolak prinsip asal-percaya (easy-believism). Untuk menjadikan segala tuntutan sulit dari Tuhan kita berlaku hanya atas orang Kristen “kelas atas” sama saja dengan menumpulkan ketajaman dari seluruh pemberitaan-Nya. Hal itu menyiapkan ruang untuk satu iman yang receh dan tidak berarti — satu iman yang sama sekali tidak berdampak terhadap hidup kedagingan dari dosa. Itu bukanlah iman yang menyelamatkan.